KEKERASAN SEKS PADA ANAK DI BANTARAN SUNGAI DELI
DALAM PERSPEKTIF ANTOPOLOGI
A. Latar Belakang Masalah
Kekerasan seks
pada anak bukanlah hal yang langka, hampir diseluruh penjuru daerah di
Indonesia kekerasan seks pernah terjadi bahkan sampai belahan dunia. Kekerasan
seks pada anak akhir-akhir ini kembali terjadi di bantaran Sungai Deli Kota
Medan. Kejadian ini menambah angka tindakan kekerasan seks pada anak, dan hal menambah
PR bagi pemerintah, masyarakat, dan polisi dalam menyelesaikannya. Dalam pencegahan
terjadinya kekerasan seks pada anak, pemerintah dan pihak kepolisian sendiri
sudah melakukan berbagai cara seperti memberi hukuman yang berat bagi
pelakunya, membentuk lembaga-lembaga perlindungan anak, dan lain-lainnya, semua
ini dilakukan agar anak terhindar dari perilaku kekerasan, penyimpangan dan
pelecehan seks. Bukan hanya itu dalam mengatasi tindak kekerasan seks terhadap
anak, pemerintah juga bekerja sama kepada lembaga-lembaga Institusi dan LSM
melalui program-program penelitian tentang kekerasan seks pada anak, namun
realitanya sampai saat ini tindak kekerasan seks terhadap anak masih terjadi. Sopian
dkk (2002:1) meskipun masalah kekerasan terhadap perempuan semakin mendapat
perhatian di kalangan masyarakat, baik secara perseorangan maupun kelembagaa,
hal tersebut tetap merupakan masalah yang belum terpecahkan secara tuntas
hingga sekarang.
Berbagai
kalangan banyak mempertanyakan kenapa kasus tersebut masih terjadi ? jawaban
dari pertanyaan ini seolah menjadi dilema bagi semua kalangan baik dari
masyarakat, pemerintah, dan kepolisian. Dalam menyelesaian kasus ini
pemerintah, masyarakat, dan kepolisian haruslah bekerja sama, jika tidak maka
persoalan ini tidak akan dapat terselesaikan. Ricard J. Gelles (Hurairah, 2012), kekerasan terhadap anak
merupakan perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap
anak-anak (baik secara fisik maupun emosional). Bentuk kekerasan terhadap anak
dapat diklasifikasikan menjadi kekerasan secara fisik, kekerasan secara
psikologi, kekerasan secara seksual dan kekerasan secara sosial.
Kekerasan seks pada anak mempunyai arti
negatif bagi masyarakat, setiap pelaku tindakan tersebut akan mendapat kecaman,
hujatan, dan ancaman dalam masyarakat. Tidak heran pemerintah sendiri
memberikan hukuman yang berat bagi para pelakunya, namun bagaimana jika
perilaku yang seperti tindakan kekerasan seks dijadikan sebuah tradisi. Apakah
tradisi tersebut akan mendapat hukuman dari kepolisian, atau akan mendapatkan
kecaman, dan hujatan dari masyarakat, pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh
etnis yang melakukan tradisi tersebut. Sebagai contoh beberapa tradisi perilaku
kekerasan tersebut yaitu 1) Suku Sambians di Papua Nugini yang memisahkan anak laki-laki umur
7 tahun dan tinggal bersama dengan pria dewasa dan anak laki-laki itu harus
minum air mani
laki-laki dewasa tersebut, 2) Suku Trobrainders yang behubungan seks diumur muda, anak-anak di
sana sudah bisa berhubungan sex dengan wanita pada usia 6-8 tahun untuk wanita
& 10-12 tahun untuk pria tanpa stigma sosial, tradisi ini sudah menjadi hal
yg wajib di lakukan disana, 3) Suku The Nepalese yaitu suku berbagi istri,
sebuah kasus di kawasan Himalaya, di mana hanya ada sedikit lahan yg tersedia
untuk pertanian. Keluarga dengan lebih dari satu anak dihadapkan dengan pembagian
tanah mereka untuk setiap anak yg akan berkeluarga. Bagaimana solusinya?
Akhirnya mereka mencari satu saja istri untuk anak-anak mereka agar hidup
bersama tanpa membagi tanah keluarga.
Beberapa tradisi perilaku seks di atas sudah
dilakukan turun temurun oleh etnis yang bersangkutan. Tradisi perilaku seks di
atas hampir sama dengan tindak kekerasan seks yang terjadi pada perempuan
khususnya anak-anak, akan tetapi perilaku tersebut tidak dinilai negatif dan
melanggar norma masyarakat. Persoalan ini tentu berbeda pandangan dengan etnis
yang melakukan sebagai tradisi atau ritual dibandingkan dengan pandangan
masyarakat luar. Levi-Strauss (1970) dalam Octavios (1997) mengatakan dalam
analisis struktural makna suatu tanda baru dapat diketahui dengan baik jika
tanda tersebut ditempatkan dalam sebuah konteks relasi.
Begitu juga halnya perilaku seks pada
beberapa etnis di atas bahwa makna dari perilaku seks tersebut mempunyai makna
tersendiri dibandingkan perilaku seks yang ada pada masyarakat luar khususnya di
Indonesia yang dimaknai sebagai tindak kekerasan seks. Perilaku seks pada suku Nepalese
contohnya yaitu suku berbagi istri dikarenakan lahan pertanian di daerah mereka
sangat sempit, dan jika dibagi-bagi kepada para anak yang sudah beristri maka
lahan tersebut tidak akan cukup, dan solusi untuk mengatasinya adalah dengan
cara hanya menikahi seorang istri untuk beberapa anak sehingga lahan tersebut
tidak perlu untuk dibagi-bagi kepada para anak.
Perilaku seks pada anak di bantaran Sungai
Deli dimaknai dengan tindakan kekerasan seks pada anak yang merupakan tindakan kriminal atau tindakan
melanggar hukum. Berbeda halnya dengan perilaku seks yang dijadikan tradisi
atau riual oleh suku Nepalese dan suku-suku lainnya, perilaku tersebut tidak
dinilai sebuah tindakan kriminal atau melanggar hukum, akan tetapi sebuah
keharusan bagi setiap individu pada etnis tersebut untuk menjalaninya.
Persoalan inilah yang menjadi alasan bagi peneliti untuk mengungkapkan
sebenarnya perilaku seks pada anak di bantaran Sungai Deli Kota Medan yang
dalam hal ini lebih dikenal dengan tindakan kekerasan seks. Peneliti mengatakan
bahwa kekerasan seks pada anak di bantaran Sungai Deli adalah sebuah perilaku
seks yang tidak jauh berbeda dengan tradisi atau ritual seksual pada Suku Sambians
di Papua Nugini, Suku
Trobrainders, Suku Nepalese,
dan Suku Marind-Anim di pedalaman Papua.
Perilaku seks pada anak di bantaran Sungai
Deli hampir membudaya, ini dikarenakan salah satu faktor yaitu lingkungan atau
alam sekitar. Perilaku seks pada anak terjadi dikarenakan kecilnya
ukuran rumah dengan satu ruangan kamar sehingga orang tua dan anak tidur dalam
satu ruangan, kemudian ketika orang tua ingin berhubungan intim dan menganggap
anak sudah tidur ternyata tanpa sengaja anak terbangun dan melihat orang tua
mereka melakukan hubungan suami istri, akibatnya timbul rasa keingin tahuan
terhadap hal tersebut dan merasa ingin mencobanya kepada lawan jenis. Tanggal
30 maret 2017 dikoran Harian Waspada Medan Metropolitan diberitakan bahwa
“kekerasan seks anak usia dini di bantaran sungai deli semakin hari semakin
memprihatinkan. Dikatakan juga bahwa tidak heran kalau di bantaran Sungai Deli
ditemukan abang dan adik melakukan hubungan seksual (Inces) atau ayah dengan anak perempuannya. Miris kita melihat
kehidupan disini.”
Lingkungan pemukiman padat penduduk dan dipenuhi
dengan kelompok segregatif dari berbagai etnis memicu terjadinya berbagai
kejahatan yang dilakukan oleh para remaja dan orang dewasa. Berbagai kejahatan
tersebut lebih banyak dilakukan oleh dewasa bahkan dari pihak keluarga, korban
dalam kejahatan ini sangat banyak terjadi pada anak-anak dan wanita. Kehidupan sosial budaya di daerah pemukiman
kelompok segregatif sangat rawan dijadikan tempat tinggal bagi anak-anak, karena
berbagai tindak kejahatan lebih muda terjadi dibandingkan pemukiman yang non
segregatif. Pelly (2015:450) mengatakan dalam kehidupan pemukinam kolompok yang
segregatif (pemisahan ras) akan menimbulkan ketidakharmonisan dalam interaksi
sosial antar etnis, seperti perkelahian antar kelompok pemuda dengan berbagai
kejahatan remaja dan orang dewasa. (Kottak, 1979:249-250; Bock,1979:85-92;
Howard,1993:171-180; Gross,1992:333-342; Ferraro,1995:222-238) dalam Dumatubun
mengatakan yang dikaji berdasarkan analisa Scholars, bahwa ekspresi seksual itu
ditentukan oleh faktor biologi, dimana terjadi perbedaan keseimbangan hormon
heteroseksual dari homoseksual. Tetapi semua kebudayaan dimana nilai
homoseksual melebihi heteroseksual, kadangkala ada pada beberapa orang dalam
waktu dan tempat tertentu, berdasarkan karakteristik hormon yang abnormal.
Perbedaan antara pilihan seksual dan tingkah laku seksual tergantung pada
perbedaan lingkungan alam dan kebudayaan bukan pada variasi biologi.
Pendapat di atas menjelaskan bahwa
perilaku seks atau kekerasan seks abnormal terjadi bukan hanya semata-mata
karena faktor biologis akan tetapi dikarenakan lingkungan atau alam sekitar
tenpat individu tersebut tinggal. Begitu juga yang terjadi di bantaran Sungai
Deli akhir-akhir ini, perilaku seks pada anak usia dini terjadi karena
lingkungan dan alam sekitar bantaran Sungai Deli yang padat dan sempit serta
dihuni oleh kelompok yang segregatif, wajar saja jika terjadi kekerasan seks
(perilaku seks) pada anak. Dengan situasi dan kondisi lingkungan, alam, dan
penduduk seperti ini maka akan berpeluang besar untuk terjadinya kepada
keluarga lainnya khususnya pada anak, keadaan seperti ini juga tergambar pada
Suku Nepalese yaitu suku berbagi
istri karena lahan pertanian yang sempit.
Berangkat dari latar belakang masalah di
atas, peneliti tertarik untuk membuat sebuah penelitian tentang kekerasan seks
pada anak dengan perspektif antropologi. Peneliti sendiri ingin mengungkapkan
apa sebenarnya kekerasan seks yeng terjadi pada anak di bantaran Sungai Deli,
apakah kekerasan seks tersebut sama dengan tradisi perilaku seksual pada Suku Sambians di Papua Nugini, Suku Trobrainders, Suku Nepalese, dan Suku Marind-Anim di
pedalaman Papua atau sebuah tindakan kriminal yang melanggar hukum. Untuk itu
peneliti memfokuskan masalah penelitian ini dengan mengangkat judul penelitian
tentang “Kekerasan Seks Pada Anak Di Bantaran Sungai Deli Dalam Perspektif
Antropologi”.
B. Fokus Masalah
Fokus masalah dalam penelitian ini ialah
mengungkap maksud sebenarnya kekerasan seks pada anak di bantaran Sungai Deli,
apakah kekerasan seks tersebut dapat dikatakan sebuah tindakan yang melanggar
hukum atau mempunyai maksud tersendiri bahwa kekerasan seks tersebut merupakan perilaku seksual yang
lazim dilakukan oleh etnis Marind-Anim dan lain-lainnya.
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan tahapan yang berupa
pertanyaan untuk mengungkap jawaban dari fokus penelitian. Adapun rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah motif melakukan perilaku kekerasan
seks pada anak di bantaran Sungai Deli Kota Medan ?
2. Apakah kekerasan seks pada anak merupakan hal
yang biasa bagi masyarakat di bantaran Sungai Deli Kota Medan ?
3. Apakah maksud sebenarnya melakukan kekerasan
seks pada anak di bantaran Sungai Deli Kota Medan ?
D. Tujuan Penelitian
Berangkat dari rumusan masalah di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui apakah motif melakukan
perilaku kekerasan seks pada anak di bantaran Sungai Deli Kota Medan
2. Untuk mengetahui apakah kekerasan seks pada
anak merupakan hal yang biasa bagi masyarakat di bantaran Sungai Deli Kota
Medan
3. Untuk mengetahui apakah maksud sebenarnya
melakukan kekerasan seks pada anak di bantaran Sungai Deli Kota Medan.
E. Manfaat Penelitian
Sebuah penelitian tentu harus
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahun, baik untuk masyarakat maupun pemerintah.
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a.
Memberikan sumbangan pengetahuan dan bahan,
informasi, dan referensi bagi pengembangan ilmu pengetahun khususnya tentang
anak
b.
Sebagai bahan informasi bagi masyarakat, dan
pemerintah kota Medan dalam menyelesaikan tindakan kekerasan seks pada anak
c.
Sebagai gambaran bagi masyarakat dan pemerintah
tentang perilaku seksual di masyarakat.