Jumat, 05 Mei 2017

KEKERASAN SEKS PADA ANAK DI BANTARAN SUNGAI DELI DALAM PERSPEKTIF ANTOPOLOGI

KEKERASAN SEKS PADA ANAK DI BANTARAN SUNGAI DELI
DALAM PERSPEKTIF ANTOPOLOGI

A.      Latar Belakang Masalah
Kekerasan seks pada anak bukanlah hal yang langka, hampir diseluruh penjuru daerah di Indonesia kekerasan seks pernah terjadi bahkan sampai belahan dunia. Kekerasan seks pada anak akhir-akhir ini kembali terjadi di bantaran Sungai Deli Kota Medan. Kejadian ini menambah angka tindakan kekerasan seks pada anak, dan hal menambah PR bagi pemerintah, masyarakat, dan polisi dalam menyelesaikannya. Dalam pencegahan terjadinya kekerasan seks pada anak, pemerintah dan pihak kepolisian sendiri sudah melakukan berbagai cara seperti memberi hukuman yang berat bagi pelakunya, membentuk lembaga-lembaga perlindungan anak, dan lain-lainnya, semua ini dilakukan agar anak terhindar dari perilaku kekerasan, penyimpangan dan pelecehan seks. Bukan hanya itu dalam mengatasi tindak kekerasan seks terhadap anak, pemerintah juga bekerja sama kepada lembaga-lembaga Institusi dan LSM melalui program-program penelitian tentang kekerasan seks pada anak, namun realitanya sampai saat ini tindak kekerasan seks terhadap anak masih terjadi. Sopian dkk (2002:1) meskipun masalah kekerasan terhadap perempuan semakin mendapat perhatian di kalangan masyarakat, baik secara perseorangan maupun kelembagaa, hal tersebut tetap merupakan masalah yang belum terpecahkan secara tuntas hingga sekarang.
Berbagai kalangan banyak mempertanyakan kenapa kasus tersebut masih terjadi ? jawaban dari pertanyaan ini seolah menjadi dilema bagi semua kalangan baik dari masyarakat, pemerintah, dan kepolisian. Dalam menyelesaian kasus ini pemerintah, masyarakat, dan kepolisian haruslah bekerja sama, jika tidak maka persoalan ini tidak akan dapat terselesaikan. Ricard J. Gelles (Hurairah, 2012), kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak (baik secara fisik maupun emosional). Bentuk kekerasan terhadap anak dapat diklasifikasikan menjadi kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologi, kekerasan secara seksual dan kekerasan secara sosial.
Kekerasan seks pada anak mempunyai arti negatif bagi masyarakat, setiap pelaku tindakan tersebut akan mendapat kecaman, hujatan, dan ancaman dalam masyarakat. Tidak heran pemerintah sendiri memberikan hukuman yang berat bagi para pelakunya, namun bagaimana jika perilaku yang seperti tindakan kekerasan seks dijadikan sebuah tradisi. Apakah tradisi tersebut akan mendapat hukuman dari kepolisian, atau akan mendapatkan kecaman, dan hujatan dari masyarakat, pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh etnis yang melakukan tradisi tersebut. Sebagai contoh beberapa tradisi perilaku kekerasan tersebut yaitu 1) Suku Sambians di Papua Nugini yang memisahkan anak laki-laki umur 7 tahun dan tinggal bersama dengan pria dewasa dan anak laki-laki itu harus minum air mani laki-laki dewasa tersebut, 2) Suku Trobrainders yang behubungan seks diumur muda, anak-anak di sana sudah bisa berhubungan sex dengan wanita pada usia 6-8 tahun untuk wanita & 10-12 tahun untuk pria tanpa stigma sosial, tradisi ini sudah menjadi hal yg wajib di lakukan disana, 3) Suku The Nepalese yaitu suku berbagi istri, sebuah kasus di kawasan Himalaya, di mana hanya ada sedikit lahan yg tersedia untuk pertanian. Keluarga dengan lebih dari satu anak dihadapkan dengan pembagian tanah mereka untuk setiap anak yg akan berkeluarga. Bagaimana solusinya? Akhirnya mereka mencari satu saja istri untuk anak-anak mereka agar hidup bersama tanpa membagi tanah keluarga.
Beberapa tradisi perilaku seks di atas sudah dilakukan turun temurun oleh etnis yang bersangkutan. Tradisi perilaku seks di atas hampir sama dengan tindak kekerasan seks yang terjadi pada perempuan khususnya anak-anak, akan tetapi perilaku tersebut tidak dinilai negatif dan melanggar norma masyarakat. Persoalan ini tentu berbeda pandangan dengan etnis yang melakukan sebagai tradisi atau ritual dibandingkan dengan pandangan masyarakat luar. Levi-Strauss (1970) dalam Octavios (1997) mengatakan dalam analisis struktural makna suatu tanda baru dapat diketahui dengan baik jika tanda tersebut ditempatkan dalam sebuah konteks relasi.
Begitu juga halnya perilaku seks pada beberapa etnis di atas bahwa makna dari perilaku seks tersebut mempunyai makna tersendiri dibandingkan perilaku seks yang ada pada masyarakat luar khususnya di Indonesia yang dimaknai sebagai tindak kekerasan seks. Perilaku seks pada suku Nepalese contohnya yaitu suku berbagi istri dikarenakan lahan pertanian di daerah mereka sangat sempit, dan jika dibagi-bagi kepada para anak yang sudah beristri maka lahan tersebut tidak akan cukup, dan solusi untuk mengatasinya adalah dengan cara hanya menikahi seorang istri untuk beberapa anak sehingga lahan tersebut tidak perlu untuk dibagi-bagi kepada para anak.
Perilaku seks pada anak di bantaran Sungai Deli dimaknai dengan tindakan kekerasan seks pada anak yang  merupakan tindakan kriminal atau tindakan melanggar hukum. Berbeda halnya dengan perilaku seks yang dijadikan tradisi atau riual oleh suku Nepalese dan suku-suku lainnya, perilaku tersebut tidak dinilai sebuah tindakan kriminal atau melanggar hukum, akan tetapi sebuah keharusan bagi setiap individu pada etnis tersebut untuk menjalaninya. Persoalan inilah yang menjadi alasan bagi peneliti untuk mengungkapkan sebenarnya perilaku seks pada anak di bantaran Sungai Deli Kota Medan yang dalam hal ini lebih dikenal dengan tindakan kekerasan seks. Peneliti mengatakan bahwa kekerasan seks pada anak di bantaran Sungai Deli adalah sebuah perilaku seks yang tidak jauh berbeda dengan tradisi atau ritual seksual pada Suku  Sambians di Papua Nugini, Suku Trobrainders, Suku Nepalese, dan Suku Marind-Anim di pedalaman Papua.
Perilaku seks pada anak di bantaran Sungai Deli hampir membudaya, ini dikarenakan salah satu faktor yaitu lingkungan atau alam sekitar. Perilaku seks pada anak terjadi dikarenakan kecilnya ukuran rumah dengan satu ruangan kamar sehingga orang tua dan anak tidur dalam satu ruangan, kemudian ketika orang tua ingin berhubungan intim dan menganggap anak sudah tidur ternyata tanpa sengaja anak terbangun dan melihat orang tua mereka melakukan hubungan suami istri, akibatnya timbul rasa keingin tahuan terhadap hal tersebut dan merasa ingin mencobanya kepada lawan jenis. Tanggal 30 maret 2017 dikoran Harian Waspada Medan Metropolitan diberitakan bahwa “kekerasan seks anak usia dini di bantaran sungai deli semakin hari semakin memprihatinkan. Dikatakan juga bahwa tidak heran kalau di bantaran Sungai Deli ditemukan abang dan adik melakukan hubungan seksual (Inces) atau ayah dengan anak perempuannya. Miris kita melihat kehidupan disini.”
Lingkungan pemukiman padat penduduk dan dipenuhi dengan kelompok segregatif dari berbagai etnis memicu terjadinya berbagai kejahatan yang dilakukan oleh para remaja dan orang dewasa. Berbagai kejahatan tersebut lebih banyak dilakukan oleh dewasa bahkan dari pihak keluarga, korban dalam kejahatan ini sangat banyak terjadi pada anak-anak dan wanita.  Kehidupan sosial budaya di daerah pemukiman kelompok segregatif sangat rawan dijadikan tempat tinggal bagi anak-anak, karena berbagai tindak kejahatan lebih muda terjadi dibandingkan pemukiman yang non segregatif. Pelly (2015:450) mengatakan dalam kehidupan pemukinam kolompok yang segregatif (pemisahan ras) akan menimbulkan ketidakharmonisan dalam interaksi sosial antar etnis, seperti perkelahian antar kelompok pemuda dengan berbagai kejahatan remaja dan orang dewasa. (Kottak, 1979:249-250; Bock,1979:85-92; Howard,1993:171-180; Gross,1992:333-342; Ferraro,1995:222-238) dalam Dumatubun mengatakan yang dikaji berdasarkan analisa Scholars, bahwa ekspresi seksual itu ditentukan oleh faktor biologi, dimana terjadi perbedaan keseimbangan hormon heteroseksual dari homoseksual. Tetapi semua kebudayaan dimana nilai homoseksual melebihi heteroseksual, kadangkala ada pada beberapa orang dalam waktu dan tempat tertentu, berdasarkan karakteristik hormon yang abnormal. Perbedaan antara pilihan seksual dan tingkah laku seksual tergantung pada perbedaan lingkungan alam dan kebudayaan bukan pada variasi biologi.
Pendapat di atas menjelaskan bahwa perilaku seks atau kekerasan seks abnormal terjadi bukan hanya semata-mata karena faktor biologis akan tetapi dikarenakan lingkungan atau alam sekitar tenpat individu tersebut tinggal. Begitu juga yang terjadi di bantaran Sungai Deli akhir-akhir ini, perilaku seks pada anak usia dini terjadi karena lingkungan dan alam sekitar bantaran Sungai Deli yang padat dan sempit serta dihuni oleh kelompok yang segregatif, wajar saja jika terjadi kekerasan seks (perilaku seks) pada anak. Dengan situasi dan kondisi lingkungan, alam, dan penduduk seperti ini maka akan berpeluang besar untuk terjadinya kepada keluarga lainnya khususnya pada anak, keadaan seperti ini juga tergambar pada Suku Nepalese yaitu suku berbagi istri karena lahan pertanian yang sempit.
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk membuat sebuah penelitian tentang kekerasan seks pada anak dengan perspektif antropologi. Peneliti sendiri ingin mengungkapkan apa sebenarnya kekerasan seks yeng terjadi pada anak di bantaran Sungai Deli, apakah kekerasan seks tersebut sama dengan tradisi perilaku seksual pada  Suku  Sambians di Papua Nugini, Suku Trobrainders, Suku Nepalese, dan Suku Marind-Anim di pedalaman Papua atau sebuah tindakan kriminal yang melanggar hukum. Untuk itu peneliti memfokuskan masalah penelitian ini dengan mengangkat judul penelitian tentang “Kekerasan Seks Pada Anak Di Bantaran Sungai Deli Dalam Perspektif Antropologi”.
B.       Fokus Masalah
Fokus masalah dalam penelitian ini ialah mengungkap maksud sebenarnya kekerasan seks pada anak di bantaran Sungai Deli, apakah kekerasan seks tersebut dapat dikatakan sebuah tindakan yang melanggar hukum atau mempunyai maksud tersendiri bahwa kekerasan seks  tersebut merupakan perilaku seksual yang lazim dilakukan oleh etnis Marind-Anim dan lain-lainnya.
C.      Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan tahapan yang berupa pertanyaan untuk mengungkap jawaban dari fokus penelitian. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.      Apakah motif melakukan perilaku kekerasan seks pada anak di bantaran Sungai Deli Kota Medan ?
2.      Apakah kekerasan seks pada anak merupakan hal yang biasa bagi masyarakat di bantaran Sungai Deli Kota Medan ?
3.      Apakah maksud sebenarnya melakukan kekerasan seks pada anak di bantaran Sungai Deli Kota Medan ?  
D.      Tujuan Penelitian
Berangkat dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengetahui apakah motif melakukan perilaku kekerasan seks pada anak di bantaran Sungai Deli Kota Medan
2.      Untuk mengetahui apakah kekerasan seks pada anak merupakan hal yang biasa bagi masyarakat di bantaran Sungai Deli Kota Medan
3.      Untuk mengetahui apakah maksud sebenarnya melakukan kekerasan seks pada anak di bantaran Sungai Deli Kota Medan.

E.       Manfaat Penelitian
Sebuah penelitian tentu harus bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahun, baik untuk masyarakat maupun pemerintah. Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a.         Memberikan sumbangan pengetahuan dan bahan, informasi, dan referensi bagi pengembangan ilmu pengetahun khususnya tentang anak
b.        Sebagai bahan informasi bagi masyarakat, dan pemerintah kota Medan dalam menyelesaikan tindakan kekerasan seks pada anak
c.         Sebagai gambaran bagi masyarakat dan pemerintah tentang perilaku seksual di masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STRUKTUR KEKERABATAN PERKAWINAN ANTAR SUKU MELAYU DENGAN BATAK TOBA

STRUKTUR KEKERABATAN PERKAWINAN ANTAR SUKU MELAYU DENGAN BATAK TOBA I.          Latar Belakang Atok ego keturunan dari raja ai...