KONFLIK AGRARIA
(STUDI KASUS-KASUS
AGRARIA DALAM KAJIAN ANTROPOLOGI)
OLEH ISMAIL
A. Konflik Agraria
Tanah merupakan komponen terpenting dalam
kehidupan manusia, sehingga menjadi faktor paling strategis bagi kelangsungan
kehidupan. Berbagai catatan tentang peradaban manusia senantiasa menempatkan
tanah dan penguasaannya sebagai faktor pemicu konflik, bahkan peperangan. Oleh
sebab itu, setiap negara berupaya mengatur penguasaan tanah dan tata kelolanya
bagi kesejahteraan rakyat untuk pertumbuhan ekonomi nasional dan pemerataan
pembangunan nasional. (Lemhannas RI)
Tanah sangat besar manfaatnya bagi manusia,
dengan tanah manusia bisa mendirikan rumah (tempat tinggal), bercocok tanam,
berternak, bahkan dapat mendirikan tempat beribadah. Tanah dalam hal kajian ini
sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak pengusaha, penguasa, dan pemilik modal,
untuk digunakan sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Banyak konflik
yang timbul dalam persoalan tanah yang sering disebut konflik Agraria, antara
masyarakat dengan pengusaha, masyarakat dengan pemerintah, yang menjadi korban
dari konflik tersebut adalah mereka masyarakat yang tidak memiliki kekuatan
untuk mempertahankan hak-hak mereka.
Anu Lounela dkk (2002:15) bahwa konflik agraria
di Indonesia adalah masalah serius yang tidak memperoleh perhatian semestinya.
Dengan jumlah, sebaran, keterlibatan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik
serta rentang waktu yang berkepanjangan, ketiadaan perhatian itu juga telah
membawa konflik-konflik tersebut menjadi warisan dari satu rezim ke rezim
penggantinya. Saat ini bersamaan dengan meningkatnya ketimpangan di dalam
struktur penguasa tanah di Indonesia, termasuk tanah-tanah pertanian rakyat,
sejumlah aksi pendudukan dan reclaiming oleh petani terhadap sejumlah tanah
yang diklaim oleh mereka sebagai haknya menunjukkan di satu sisi tidak adanya
konsistensi pemerintah dalam menerapkan kebijakan dan tidak adanya format
penyelesaian sengketa/konflik pertanahan yang memadai dan berpihak kepada
kepentingan rakyat banyak di sisi lain.
Dalam banyak konflik agraria yang terjadi
masyarakat sering dihadapkan dengan keputusan dan kebijakan sebelah pihak yang
menguntungkan pihak pengusaha, pemerintah, dan pemilik modal. Sedangkan
masyarakt yang mempunyai hak milik atas tanah tersebut tidak bisa berbuat
banyak karena sering kali dalam perebutan dan penggusuran tanah petugas
kepolisian bahkan TNI ikut turun untuk melawan masyarakat. Makanya tidak heran
dalam proses perebutan itu masyarakat melakukan hal-hal yang tidak sewajarnya
untuk dilakukan sebagai masyarakat yang berpancasila. Seolah menjadi rahasia
publik di negeri tercinta ini tentang konflik agraria yang terjadi hampir
seluruh provinsi yan ada di Indonesia ini, konflik tersebut seperti menjadi
budaya bagi penguasa, pengusaha, dan pemerintah dalam merebut kepemilikan tanah
dari tangan masyarakat setempat. Sama halnya dalam sebuah flim yang sudah
dirancang sedemikian rupa alur ceritanya dengan hasil yang pasti akan tercapai,
ibarat seperti itulah konflik agraria yang terjadi dengan penyelesaian
merugikan masyarakat. Anu Sounela dkk (2002,16) jika dilihat dari rentang waktu
terjadinya konflik, banyak konflik-konflik agraria yang ada sekarang
sesungguhnya berakar pada persoalan agraria di masa kolonial yang muncul dan
mengeras kembali ketika rezim Orde Baru berkuasa dan menerapkan kebijakan yang
lebih pro kepada pihak investasi ketimbang memelihara dan menegakkan hak-hak
rakyat atas tanah.
Banyak kasus-kasus konflik agraria yang tidak
ada penyelesaiannya, akan tetapi pada kebanyakan kasus masyarakat sering
dirugikan dan kalah dari pihak pengusaha dan pemilik modal. Hal ini sangat
disayangkan dengan kebijakan atau keputusan pemerintah yang membawa kepentingan
dari pihak penguasa, dan pemilik modal, sedangkan masyarakat hanya menjadi
korban akibat keperntingan tersebut. Seharusnya pemerintah bijak dalam
mengambil keputusan perihal tentang kasus agraria yang sudah terjadi dan masih
terjadi, kasus agraria di Indonesia cukup banyak untuk dijadikan pelajaran.
Jika konflik tersebut cuma beberapa
mungkin masih ada alasan pemerintah belum bisa menyelesaikannya, akan tetapi
apabila konflik-konflik tersebut banyak dijumpai hampir disetiap daerah yang di
Indonesia maka tidak pantas jika pemerintah tidak tahu langkah apa yang harus
diambil dalam penyelesaiannya. Anu Sounela dkk (2002,17) sebagai contoh adalah
ketika pendudukan tanah menghebat pada tahun 1999-2001, menyusul gerakan
reformasi, Presiden Gus Dur yang sempat didatangi dan diajak membicarakan soal
pendudukan tanah-tanah perkebunan oleh sejumlah tokoh organisasi tani dan NGO
mengeluarkan pernyataan ke publik bahwa sekitar 40% tanah perkebunan negara akan
diberikan kepada rakyat tani yang memerlukan tanah. Tetapi, segara setelah itu,
tidak ada tindak lanjut dalam kerangka hukum maupun kebijakan nyata untuk
mewujudkan pernya-taan sang presiden.
Berbagai macam kasus tentang konflik agraria
yang terjadi di Indonesia, dari mulai kasus tanah masyarakat yang diambil paksa
oleh pengusaha dengan menunjukkan sertifikat tanah, sampai kepada penggusuran
kampung masyarakat dengan paksa namun diganti rugi secukupnya, belum lagi tanah
garapan (mau dibebaskan pemerintah) dengan janji tidak akan ada penggusuran
namun setelah tanah ditempati pemerintah (perpanjangan tangan pengusaha)
menggusur masyarakat yang telah bertempat tinggal di tanah tersebut. Anu
Sounela dkk (2002,18) dalam beberapa kasus, yang terjadi di lapangan pada
akhirnya adalah konflik yang terjadi semakin terbuka dan pecah dalam bentuk
aksi kekerasan dari pihak-pihak yang sama-sama merasa memiliki hak atas tanah
tersebut. Dalam hal ini dapat kita letakkan, misalnya, jatuhnya korban jiwa
seperti yang terjadi dalam kasus pendudukan perkebunan Branggah Banaran di Jawa
Timur pada bulan Juni tahun 2000. Atau belasan rakyat tani yang ditangkap
kepolisian dalam kasus pendudukan tanah perkebunan Pagilaran di daerah Batang,
Jawa Tengah, yang perusahaannya dimiliki oleh Yayasan Pembina Fakultas
Pertanian Universitas Gadjah Mata pada bulan Juli tahun 2000-an juga. Berikut di
bawah ini data statistik konflik-konflik yang terjadi pada tahun 1990-2000-an,
adapun datanya sebagai berikut:
Sumber: Anu Lounela
dan R. Yando Zakaria (2002:18)
Data kasus tanah di
atas jika dibahas maka dapat dipaparkan bahwa berbagai macam kasus tanah yang
terjadi seperti penggusuran, perampasan, tanah garapan, batas-batas tanah,
wakap, dan lain-lainnya. Dalam hal ini BPN mengungkapkan beberapa tipologi
kasus pertanahan, adapun data statistiknya sebagai berikut:
1. Penguasaan tanah tanpa hak, yaitu
perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan
di atas tanah tertentu yang tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara),
maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu.
2. Sengketa batas, yaitu perbedaan
pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang
diakui satu pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan batas.
3. Sengketa waris, yaitu perbedaan
persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas
tanah tertentu yang berasal dari warisan.
4. Jual berkali-kali, yaitu perbedaan
persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas
tanah tertentu yang diperoleh dari jual beli kepada lebih dari 1 orang.
5. Sertipikat ganda, yaitu perbedaan
persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu
yang memiliki sertipikat hak atas tanah lebih dari 1.
6. Sertipikat pengganti, yaitu perbedaan
persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidangtanah tertentu
yang telah diterbitkan sertipikat hak atas tanah pengganti.
7. Akta Jual Beli Palsu, yaitu perbedaan persepsi,
nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu karena
adanya Akta Jual Beli palsu.
8. Kekeliruan penunjukan batas, yaitu
perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang
tanah yang diakui satu pihak yang teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia berdasarkan penunjukan batas yang salah.
9. Tumpang tindih, yaitu perbedaan
pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang
diakui satu pihak tertentu karena terdapatnya tumpang tindih batas kepemilikan
tanahnya.
10. Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan
persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan
yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur
penerbitan hak atas tanah tertentu. (www.bpn.go.id)
B.
Beberapa
Studi Kasus Konflik Agraria Di Indonesia
1.
Musdalifah, Konflik Agraria Dalam
Relasi Antara Perusahaan Perkebunan Dengan Masyarakat (Kasus
Konflik Antara Petani Dengan Pt. Pp Lonsum Di Kabupaten Bulukumba). Penelitian
ini bertujuan untuk mengkaji dan mengidentifikasi : 1) relasi antara aktor
pemerintah, swasta dan masyarakat pada level mikro dan makro dalam terjadinya
konflik antara PT. Lonsum dengan masyarakat tani; 2) Dampak positif, negatif
dari aspek ekonomi dan sosial antara PT. Lonsum dengan masyarakat tani; 3)
Dialektika pertimbangan moral dan rasional petani serta pengaruh faktor
eksternal dalam mengubah konflik laten menjadi konflik manifest antara PT.
Lonsum dengan masyarakat tani; dan 4) Bentuk-bentuk resolusi konflk dalam
proses akomodasi antara PT Lonsum dengan masyarakat tani. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatitf dengan metode analisis data kualitatif
berdasarkan kata-kata yang disusun ke dalam bentuk teks yang diperluas. Lokasi
penelitian yaitu Desa Bontobiraeng Kecamatan Kajang dan Desa Bontomangiring
Kecamatan Bulukumpa sebagai desa dimana terdapat lahan yang diperebutkan atau
merupakan dua lokasi objek terjadinya konflik. Sedangkan lokasi penelitian
lainnya adalah Desa Tamatto Kecamatan Ujung Loe dan Desa Tibona Kecamatan
Bulukumpa merupakan dua lokasi yang tidak mengalami konflik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa relasi antara pemerintah, perusahaan dan masyarakat
digambarkan sebagai hubungan keterikatan antara kepentingan pemerintah terhadap
keberadaan perusahaan perkebunan PT. Lonsum, kekuasaan pemerintah sebagai
penentu kebijakan, serta hak guna usaha yang dimiliki PT. Lonsum dan hak
masyarakat yang merupakan warisan nenek moyang. Keberadaan perusahaan
perkebunan PT. Lonsum menimbulkan dampak positif dan negatif dari aspek sosial
maupun ekonomi, dimana keterlibatan perusahaan di bidang ekonomi, mampu
mendominasi pergerakan ekonomi masyarakat yang terus tumbuh dan berkembang,
meskipun di satu pihak menimbulkan pengaruh sosial berupa konflik yang
berkepanjangan. Dialektika konflik agraria yang terjadi di Kabupaten Bulukumba
telah berkembang dari konflik yang cenderung tertutup (laten), kemudian mencuat
dan selanjutnya menjadi konflik manifest akibat tindakan agresif pihak
perusahaan yang mendorong terjadinya tindakan perlawanan yang didasari oleh
pertimbangan moralitas melalui protes, perlawanan, bahkan revolusi petani
sebagai suatu tindakan defensif melawan kapitalisme yang mengancam keamanan
subsistensi masyarakat, dan pertimbangan rasionalitas melalui kesepakatan
melakukan perlawanan yang dinilai sebagai cara yang efektif dan eifsien dalam
menuntut hak-hak mereka. Berbagai ikhtiar rekonsiliasi yang telah dilakukan
dijadikan modal dalam mewujudkan penyelesaian konflik secara menyeluruh dan
permanen sebagai wujud bentuk resolusi konflik yakni melalui konsultasi publik,
negosiasi, mediasi dan arbitrasi.
2.
Mustapit, Kontestasi, Konflik Dan Mekanisme Akses Atas
Sumber Daya Agraria (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung Pada
Komunitas Petani Kopi Rakyat Di Kabupaten Jember). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
mekanisme para pihak yang terlibat reklaiming dalam memperoleh, mengontrol dan
memelihara aliran keuntungan dari hutan lindung dan distribusinya. Penelitian dilaksanakan pada Tahun 2010 di Desa
Sidomulyo Kecamatan Silo Kabupaten Jember Propinsi Jawa Timur. Metode
penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, dimana strategi studi
kasus dipilih dan bersifat multi metode. Pemilihan
pendekatan ini adalah untuk menyingkap kondisi “harmonis” kontestasi hutan
lindung oleh para pihak terutama warga Sidomulyo (petani kopi rakyat) dan
Perhutani. Reklaiming
hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo mempunyai tujuan
yang bersifat ideologis yaitu terkait dengan alasan moralitas, keadilan,
normatif dan sejarah. Selain itu juga mempunyai tujuan praktis yaitu terkait
nilai ekonomi dan ekologi dari hutan lindung. Aktor utama yang berkonflik dalam
perebutan hutan lindung sebagai sumberdaya agraria adalah komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani. Di samping itu ada
juga aktor lain yang terkait secara tidak langsung yaitu swasta (pedagang,
pemilik modal dan eksportir) dan pemerintah (desa dan daerah). Aktor-aktor yang berkonflik di atas mempunyai
kepentingan masing-masing terkait hutan lindung sebagai sumberdaya yang
diperebutkan. Mekanisme para pihak yang terlibat reklaiming dalam memperoleh,
mengontrol dan memelihara aliran keuntungan dari hutan lindung dan
distribusinya merupakan suatu kemampuan akses yang dipengaruhi teknologi,
modal, pasar, pengetahuan, wewenang, identitas sosial, dan relasi sosial. Kontestasi merupakan proses yang bersifat
dinamis dari para pihak / para aktor (komunitas petani kopi rakyat, Perhutani,
pedagang, dan pemerintah) yang berinteraksi dan menegosiasikan apa yang menjadi
kepentingannya dalam konteks perebutan sumberdaya alam (hutan lindung).
Interaksi mereka terwujud dalam dua bentuk relasi kuasa agraria, yaitu: relasi
teknis yaitu antara aktor utama (komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani)
dengan objek agraria (hutan lindung); dan relasi sosial yaitu relasi di antara
para pihak baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan reklaiming.
Negosiasi kepentingan para pihak berada dalam dua ruang, yaitu ruang konflik
pemaknaan dan ruang konflik hak dan akses. Kontestasi antara dua aktor utama dalam
reklaiming (komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani) dalam mencapai
kepentingannya masing-masing berada pada tahap kemacetan (stalemate), di
mana masing-masing tidak bisa memenangkan kepentingannya atau mundur menerima
kekalahan. Kondisi ini terjadi karena adanya beberapa hal, yaitu: besarnya
biaya melanjutkan konflik, tidak adanya dukungan pada masing-masing pihak, dan
gagalnya taktik masing-masing pihak. Pada tahap ini konflik akan menurun dan
menuju pada tahap pengurangan (de-escalation) dan mengalami proses
negosiasi dalam rangka mencapai konsensus yang ditandai dengan perubahan
organisasi sosial, interaksi para pihak yang berkonflik, peranan pihak ketiga,
lembaga pendidikan dan media.
3.
Medan Kompas, FRB Sumut Desak Tangani Konflik
Agraria. Medan, Kompas - Sedikitnya
2.500 pengunjuk rasa yang tergabung dalam Forum Rakyat Bersatu Sumatera Utara
berunjuk rasa di kantor Gubernur Sumut, Rabu (5/12). Mereka mendesak Pelaksana
Tugas Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho menepati janjinya untuk menyelesaikan
kasus konflik agraria atas lahan 56.431 hektar. Pengunjuk rasa tiba di kantor Gubernur Sumut sekitar pukul 11.30 dengan
sepeda motor, angkutan kota, bus, truk, dan mobil bak terbuka. Mereka berasal
dari berbagai daerah di Sumatera Utara, seperti Langkat, Binjai, Deli Serdang,
dan Serdang Bedagai. Dalam orasi, mereka meminta Gatot menepati janjinya. Janji itu antara
lain membentuk tim penyelesaian sengketa agraria dengan melibatkan unsur petani
dan warga seperti FRB Sumut. Gatot juga berjanji memasukkan perwakilan FRB
Sumut ke tim pemetaan lahan dan pemasangan patok lahan PT Perkebunan Nusantara
(PTPN). ”Itu janji Gatot awal Januari 2012. Sekarang sudah Desember,” kata
Amiruddin, salah satu aktivis FRB Sumut. Di Sumut terjadi sengketa agraria dengan obyek lahan hak guna usaha
(HGU), lahan eks HGU, dan lahan non-HGU yang luasnya mencapai 56.431 hektar.
Status lahan tersebut simpang siur. Para pengunjuk rasa merasa berhak atas
tanah itu. ”Lahan tersebut milik kami yang dirampas negara. Kami dipaksa
menyerahkan tanah, atau dituduh PKI dan dipenjara,” ujar pengunjuk rasa,
Suherly. Pemerintah pusat telah memberikan perpanjangan HGU kepada PTPN II atas
sebagian besar lahan tersebut.
Daftar Pustaka...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar