Jumat, 11 November 2016

KONFLIK AGRARIA (STUDI KASUS-KASUS AGRARIA DALAM KAJIAN ANTROPOLOGI)

KONFLIK AGRARIA
(STUDI KASUS-KASUS AGRARIA DALAM KAJIAN ANTROPOLOGI)
OLEH ISMAIL

A.      Konflik Agraria
            Tanah merupakan komponen terpenting dalam kehidupan manusia, sehingga menjadi faktor paling strategis bagi kelangsungan kehidupan. Berbagai catatan tentang peradaban manusia senantiasa menempatkan tanah dan penguasaannya sebagai faktor pemicu konflik, bahkan peperangan. Oleh sebab itu, setiap negara berupaya mengatur penguasaan tanah dan tata kelolanya bagi kesejahteraan rakyat untuk pertumbuhan ekonomi nasional dan pemerataan pembangunan nasional. (Lemhannas RI)
            Tanah sangat besar manfaatnya bagi manusia, dengan tanah manusia bisa mendirikan rumah (tempat tinggal), bercocok tanam, berternak, bahkan dapat mendirikan tempat beribadah. Tanah dalam hal kajian ini sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak pengusaha, penguasa, dan pemilik modal, untuk digunakan sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Banyak konflik yang timbul dalam persoalan tanah yang sering disebut konflik Agraria, antara masyarakat dengan pengusaha, masyarakat dengan pemerintah, yang menjadi korban dari konflik tersebut adalah mereka masyarakat yang tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan hak-hak mereka.
Anu Lounela dkk (2002:15) bahwa konflik agraria di Indonesia adalah masalah serius yang tidak memperoleh perhatian semestinya. Dengan jumlah, sebaran, keterlibatan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik serta rentang waktu yang berkepanjangan, ketiadaan perhatian itu juga telah membawa konflik-konflik tersebut menjadi warisan dari satu rezim ke rezim penggantinya. Saat ini bersamaan dengan meningkatnya ketimpangan di dalam struktur penguasa tanah di Indonesia, termasuk tanah-tanah pertanian rakyat, sejumlah aksi pendudukan dan reclaiming oleh petani terhadap sejumlah tanah yang diklaim oleh mereka sebagai haknya menunjukkan di satu sisi tidak adanya konsistensi pemerintah dalam menerapkan kebijakan dan tidak adanya format penyelesaian sengketa/konflik pertanahan yang memadai dan berpihak kepada kepentingan rakyat banyak di sisi lain.
Dalam banyak konflik agraria yang terjadi masyarakat sering dihadapkan dengan keputusan dan kebijakan sebelah pihak yang menguntungkan pihak pengusaha, pemerintah, dan pemilik modal. Sedangkan masyarakt yang mempunyai hak milik atas tanah tersebut tidak bisa berbuat banyak karena sering kali dalam perebutan dan penggusuran tanah petugas kepolisian bahkan TNI ikut turun untuk melawan masyarakat. Makanya tidak heran dalam proses perebutan itu masyarakat melakukan hal-hal yang tidak sewajarnya untuk dilakukan sebagai masyarakat yang berpancasila. Seolah menjadi rahasia publik di negeri tercinta ini tentang konflik agraria yang terjadi hampir seluruh provinsi yan ada di Indonesia ini, konflik tersebut seperti menjadi budaya bagi penguasa, pengusaha, dan pemerintah dalam merebut kepemilikan tanah dari tangan masyarakat setempat. Sama halnya dalam sebuah flim yang sudah dirancang sedemikian rupa alur ceritanya dengan hasil yang pasti akan tercapai, ibarat seperti itulah konflik agraria yang terjadi dengan penyelesaian merugikan masyarakat. Anu Sounela dkk (2002,16) jika dilihat dari rentang waktu terjadinya konflik, banyak konflik-konflik agraria yang ada sekarang sesungguhnya berakar pada persoalan agraria di masa kolonial yang muncul dan mengeras kembali ketika rezim Orde Baru berkuasa dan menerapkan kebijakan yang lebih pro kepada pihak investasi ketimbang memelihara dan menegakkan hak-hak rakyat atas tanah.
Banyak kasus-kasus konflik agraria yang tidak ada penyelesaiannya, akan tetapi pada kebanyakan kasus masyarakat sering dirugikan dan kalah dari pihak pengusaha dan pemilik modal. Hal ini sangat disayangkan dengan kebijakan atau keputusan pemerintah yang membawa kepentingan dari pihak penguasa, dan pemilik modal, sedangkan masyarakat hanya menjadi korban akibat keperntingan tersebut. Seharusnya pemerintah bijak dalam mengambil keputusan perihal tentang kasus agraria yang sudah terjadi dan masih terjadi, kasus agraria di Indonesia cukup banyak untuk dijadikan pelajaran. Jika konflik tersebut cuma  beberapa mungkin masih ada alasan pemerintah belum bisa menyelesaikannya, akan tetapi apabila konflik-konflik tersebut banyak dijumpai hampir disetiap daerah yang di Indonesia maka tidak pantas jika pemerintah tidak tahu langkah apa yang harus diambil dalam penyelesaiannya. Anu Sounela dkk (2002,17) sebagai contoh adalah ketika pendudukan tanah menghebat pada tahun 1999-2001, menyusul gerakan reformasi, Presiden Gus Dur yang sempat didatangi dan diajak membicarakan soal pendudukan tanah-tanah perkebunan oleh sejumlah tokoh organisasi tani dan NGO mengeluarkan pernyataan ke publik bahwa sekitar 40% tanah perkebunan negara akan diberikan kepada rakyat tani yang memerlukan tanah. Tetapi, segara setelah itu, tidak ada tindak lanjut dalam kerangka hukum maupun kebijakan nyata untuk mewujudkan pernya-taan sang presiden.
Berbagai macam kasus tentang konflik agraria yang terjadi di Indonesia, dari mulai kasus tanah masyarakat yang diambil paksa oleh pengusaha dengan menunjukkan sertifikat tanah, sampai kepada penggusuran kampung masyarakat dengan paksa namun diganti rugi secukupnya, belum lagi tanah garapan (mau dibebaskan pemerintah) dengan janji tidak akan ada penggusuran namun setelah tanah ditempati pemerintah (perpanjangan tangan pengusaha) menggusur masyarakat yang telah bertempat tinggal di tanah tersebut. Anu Sounela dkk (2002,18) dalam beberapa kasus, yang terjadi di lapangan pada akhirnya adalah konflik yang terjadi semakin terbuka dan pecah dalam bentuk aksi kekerasan dari pihak-pihak yang sama-sama merasa memiliki hak atas tanah tersebut. Dalam hal ini dapat kita letakkan, misalnya, jatuhnya korban jiwa seperti yang terjadi dalam kasus pendudukan perkebunan Branggah Banaran di Jawa Timur pada bulan Juni tahun 2000. Atau belasan rakyat tani yang ditangkap kepolisian dalam kasus pendudukan tanah perkebunan Pagilaran di daerah Batang, Jawa Tengah, yang perusahaannya dimiliki oleh Yayasan Pembina Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mata pada bulan Juli tahun 2000-an juga. Berikut di bawah ini data statistik konflik-konflik yang terjadi pada tahun 1990-2000-an, adapun datanya sebagai berikut:



Sumber: Anu Lounela dan R. Yando Zakaria (2002:18)
            Data kasus tanah di atas jika dibahas maka dapat dipaparkan bahwa berbagai macam kasus tanah yang terjadi seperti penggusuran, perampasan, tanah garapan, batas-batas tanah, wakap, dan lain-lainnya. Dalam hal ini BPN mengungkapkan beberapa tipologi kasus pertanahan, adapun data statistiknya sebagai berikut:
1.      Penguasaan tanah tanpa hak, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu.
2.      Sengketa batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan batas.
3.      Sengketa waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari warisan.
4.      Jual berkali-kali, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang diperoleh dari jual beli kepada lebih dari 1 orang.
5.      Sertipikat ganda, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu yang memiliki sertipikat hak atas tanah lebih dari 1.
6.      Sertipikat pengganti, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidangtanah tertentu yang telah diterbitkan sertipikat hak atas tanah pengganti.
7.      Akta Jual Beli Palsu, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu karena adanya Akta Jual Beli palsu.
8.      Kekeliruan penunjukan batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berdasarkan penunjukan batas yang salah.
9.      Tumpang tindih, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak tertentu karena terdapatnya tumpang tindih batas kepemilikan tanahnya.
10.  Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu. (www.bpn.go.id)

B.       Beberapa Studi Kasus Konflik Agraria Di Indonesia
1.      Musdalifah, Konflik Agraria Dalam Relasi Antara Perusahaan Perkebunan Dengan Masyarakat (Kasus Konflik Antara Petani Dengan Pt. Pp Lonsum Di Kabupaten Bulukumba). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mengidentifikasi : 1) relasi antara aktor pemerintah, swasta dan masyarakat pada level mikro dan makro dalam terjadinya konflik antara PT. Lonsum dengan masyarakat tani; 2) Dampak positif, negatif dari aspek ekonomi dan sosial antara PT. Lonsum dengan masyarakat tani; 3) Dialektika pertimbangan moral dan rasional petani serta pengaruh faktor eksternal dalam mengubah konflik laten menjadi konflik manifest antara PT. Lonsum dengan masyarakat tani; dan 4) Bentuk-bentuk resolusi konflk dalam proses akomodasi antara PT Lonsum dengan masyarakat tani. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatitf dengan metode analisis data kualitatif berdasarkan kata-kata yang disusun ke dalam bentuk teks yang diperluas. Lokasi penelitian yaitu Desa Bontobiraeng Kecamatan Kajang dan Desa Bontomangiring Kecamatan Bulukumpa sebagai desa dimana terdapat lahan yang diperebutkan atau merupakan dua lokasi objek terjadinya konflik. Sedangkan lokasi penelitian lainnya adalah Desa Tamatto Kecamatan Ujung Loe dan Desa Tibona Kecamatan Bulukumpa merupakan dua lokasi yang tidak mengalami konflik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa relasi antara pemerintah, perusahaan dan masyarakat digambarkan sebagai hubungan keterikatan antara kepentingan pemerintah terhadap keberadaan perusahaan perkebunan PT. Lonsum, kekuasaan pemerintah sebagai penentu kebijakan, serta hak guna usaha yang dimiliki PT. Lonsum dan hak masyarakat yang merupakan warisan nenek moyang. Keberadaan perusahaan perkebunan PT. Lonsum menimbulkan dampak positif dan negatif dari aspek sosial maupun ekonomi, dimana keterlibatan perusahaan di bidang ekonomi, mampu mendominasi pergerakan ekonomi masyarakat yang terus tumbuh dan berkembang, meskipun di satu pihak menimbulkan pengaruh sosial berupa konflik yang berkepanjangan. Dialektika konflik agraria yang terjadi di Kabupaten Bulukumba telah berkembang dari konflik yang cenderung tertutup (laten), kemudian mencuat dan selanjutnya menjadi konflik manifest akibat tindakan agresif pihak perusahaan yang mendorong terjadinya tindakan perlawanan yang didasari oleh pertimbangan moralitas melalui protes, perlawanan, bahkan revolusi petani sebagai suatu tindakan defensif melawan kapitalisme yang mengancam keamanan subsistensi masyarakat, dan pertimbangan rasionalitas melalui kesepakatan melakukan perlawanan yang dinilai sebagai cara yang efektif dan eifsien dalam menuntut hak-hak mereka. Berbagai ikhtiar rekonsiliasi yang telah dilakukan dijadikan modal dalam mewujudkan penyelesaian konflik secara menyeluruh dan permanen sebagai wujud bentuk resolusi konflik yakni melalui konsultasi publik, negosiasi, mediasi dan arbitrasi.
2.      Mustapit,  Kontestasi, Konflik Dan Mekanisme Akses Atas Sumber Daya Agraria  (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung Pada Komunitas Petani Kopi Rakyat Di Kabupaten Jember). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mekanisme para pihak yang terlibat reklaiming dalam memperoleh, mengontrol dan memelihara aliran keuntungan dari hutan lindung dan distribusinya. Penelitian dilaksanakan pada Tahun 2010 di Desa Sidomulyo Kecamatan Silo Kabupaten Jember Propinsi Jawa Timur. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, dimana strategi studi kasus dipilih dan bersifat multi metode. Pemilihan pendekatan ini adalah untuk menyingkap kondisi “harmonis” kontestasi hutan lindung oleh para pihak terutama warga Sidomulyo (petani kopi rakyat) dan Perhutani. Reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo mempunyai tujuan yang bersifat ideologis yaitu terkait dengan alasan moralitas, keadilan, normatif dan sejarah. Selain itu juga mempunyai tujuan praktis yaitu terkait nilai ekonomi dan ekologi dari hutan lindung. Aktor utama yang berkonflik dalam perebutan hutan lindung sebagai sumberdaya agraria adalah komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani. Di samping itu ada juga aktor lain yang terkait secara tidak langsung yaitu swasta (pedagang, pemilik modal dan eksportir) dan pemerintah (desa dan daerah). Aktor-aktor yang berkonflik di atas mempunyai kepentingan masing-masing terkait hutan lindung sebagai sumberdaya yang diperebutkan. Mekanisme para pihak yang terlibat reklaiming dalam memperoleh, mengontrol dan memelihara aliran keuntungan dari hutan lindung dan distribusinya merupakan suatu kemampuan akses yang dipengaruhi teknologi, modal, pasar, pengetahuan, wewenang, identitas sosial, dan relasi sosial. Kontestasi merupakan proses yang bersifat dinamis dari para pihak / para aktor (komunitas petani kopi rakyat, Perhutani, pedagang, dan pemerintah) yang berinteraksi dan menegosiasikan apa yang menjadi kepentingannya dalam konteks perebutan sumberdaya alam (hutan lindung). Interaksi mereka terwujud dalam dua bentuk relasi kuasa agraria, yaitu: relasi teknis yaitu antara aktor utama (komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani) dengan objek agraria (hutan lindung); dan relasi sosial yaitu relasi di antara para pihak baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan reklaiming. Negosiasi kepentingan para pihak berada dalam dua ruang, yaitu ruang konflik pemaknaan dan ruang konflik hak dan akses. Kontestasi antara dua aktor utama dalam reklaiming (komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani) dalam mencapai kepentingannya masing-masing berada pada tahap kemacetan (stalemate), di mana masing-masing tidak bisa memenangkan kepentingannya atau mundur menerima kekalahan. Kondisi ini terjadi karena adanya beberapa hal, yaitu: besarnya biaya melanjutkan konflik, tidak adanya dukungan pada masing-masing pihak, dan gagalnya taktik masing-masing pihak. Pada tahap ini konflik akan menurun dan menuju pada tahap pengurangan (de-escalation) dan mengalami proses negosiasi dalam rangka mencapai konsensus yang ditandai dengan perubahan organisasi sosial, interaksi para pihak yang berkonflik, peranan pihak ketiga, lembaga pendidikan dan media.
3.      Medan Kompas, FRB Sumut Desak Tangani Konflik Agraria. Medan, Kompas - Sedikitnya 2.500 pengunjuk rasa yang tergabung dalam Forum Rakyat Bersatu Sumatera Utara berunjuk rasa di kantor Gubernur Sumut, Rabu (5/12). Mereka mendesak Pelaksana Tugas Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho menepati janjinya untuk menyelesaikan kasus konflik agraria atas lahan 56.431 hektar. Pengunjuk rasa tiba di kantor Gubernur Sumut sekitar pukul 11.30 dengan sepeda motor, angkutan kota, bus, truk, dan mobil bak terbuka. Mereka berasal dari berbagai daerah di Sumatera Utara, seperti Langkat, Binjai, Deli Serdang, dan Serdang Bedagai. Dalam orasi, mereka meminta Gatot menepati janjinya. Janji itu antara lain membentuk tim penyelesaian sengketa agraria dengan melibatkan unsur petani dan warga seperti FRB Sumut. Gatot juga berjanji memasukkan perwakilan FRB Sumut ke tim pemetaan lahan dan pemasangan patok lahan PT Perkebunan Nusantara (PTPN). ”Itu janji Gatot awal Januari 2012. Sekarang sudah Desember,” kata Amiruddin, salah satu aktivis FRB Sumut. Di Sumut terjadi sengketa agraria dengan obyek lahan hak guna usaha (HGU), lahan eks HGU, dan lahan non-HGU yang luasnya mencapai 56.431 hektar. Status lahan tersebut simpang siur. Para pengunjuk rasa merasa berhak atas tanah itu. ”Lahan tersebut milik kami yang dirampas negara. Kami dipaksa menyerahkan tanah, atau dituduh PKI dan dipenjara,” ujar pengunjuk rasa, Suherly. Pemerintah pusat telah memberikan perpanjangan HGU kepada PTPN II atas sebagian besar lahan tersebut.

Uraian dan kasus-kasus agraria yang terjadi banyak menimbulkan pertanyaan “kenapa konflik agraria tidak pernah terselesaikan”. Pertanyaan ini sudah hal biasa terdengar di telinga kita, bahkan sudah menjadi rahasia publik yang sudah punya alur cerita sendiri dengan penyelesaian yang merugikan rakyat. Berbagai banyak konflik agraria yang terjadi baik antara pengusaha dengan rakyat, pemerintah dengan rakyat, sampai kepada pemilik modal (pengusaha, mafia, pemerintah) dengan rakyat, penyelesaiannya selalu merugikan rakyat. Ini merupakan tugas pemerintah ke depannya, pemerintah sebagai perwakilan dari rakyat atau yang dipercayakan rakyat untuk menjadi pemimpin di negeri Indonesia harus bisa bersikap bijaksana, kepentingan rakyat haruslah lebih diutamakan dari pada kepentingan pribadi apa lagi kalau sifatnya memperkaya diri sendiri.
Daftar Pustaka...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STRUKTUR KEKERABATAN PERKAWINAN ANTAR SUKU MELAYU DENGAN BATAK TOBA

STRUKTUR KEKERABATAN PERKAWINAN ANTAR SUKU MELAYU DENGAN BATAK TOBA I.          Latar Belakang Atok ego keturunan dari raja ai...