Minggu, 13 November 2016

DISPARITAS ETNIK (KONFLIK DI PAPUA DAN ACEH SIGLI) OLEH ISMAIL

DISPARITAS ETNIK
(KONFLIK DI PAPUA DAN ACEH SIGLI)
OLEH ISMAIL

          Disparitas merupakan sesuatu hal, keputusan, kebijakan, hukum, keadilan, dan hak yang membedakan sekelompok individu atau golongan dengan menguntungkan salah satu pihak terhadap pihak lainnya. dalam Jurnal Yudisial Terma“disparitas” secara popular muncul pada abad ke-16, yang awalnya berakar pada kata Latin “paritas” atau “parity.” Istilah ini mengandung makna ekuivalen, sehingga antoniminya, yakni disparitas, berarti perbedaan, kesenjangan, atau inkonsistensi.
          Banyak konflik yang disebabkan karena disparitas, disparitas yang menguntungkan sebelah pihak dan merugikan pihak lainnya merupakan masalah besar yang harus diselesaikan. Dewasa ini negara Indonesia telah menerapkan sistem demokrasi dengan diberlakukannya salah satu hukum tentang Hak Asasi Manusi (HAM).
Disparitas yang terjadi baik itu pada kelompok etnik, tingkatan masyarakat, dan struktur pemerintah akan menimbulkan konflik yang tidak akan ada habisnya, marginalisasi adalah salah satu kerugian yang akan dirasakan oleh pihakn lainnya. Disparitas akhir-akhir ini banyak terjadi dalam keagamaan yang akhirnya berujung pada sebuah konflik seperti konflik pembakaran sebuah Mushola di provinsi Papua antara umat Islam dengan umat Kristen, kasus pembakaran Gereja di Aceh Sigli antara umat Islam dengan umat Kristen, dan lain-lain. Konflik yang terjadi pada dasarnya disebabkan karena adanya disparitas agama yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya, bukan hanya dalam hal agama tetapi dalam hal-hal yang lainnya. adanya disparitas pasti akan memicu timbulnya konflik, tidak perduli apakah itu disparitas agama, etnik, budaya, atau kebijakan-kebijakan sepihak, tetap akan memicu timbulnya konflik diantara kedua kelompok atau kelompok-kelompok lainnya. 
          Beberapa konflik-konflik yang terjadi di Indonesia disebabkan adanya disparitas dan marginalisasi terhadap salah satu kelompok. Beragamnya suku, agama, ras, dan golongan membuat Indonesia sebagai bangsa yang rawan konflik. Dari ujung timur sampai ujung barat bangsa ini sering kali terdengar jerit tangis bahkan tetesan darah menyelimuti Tanah Air. Semboyan yang terdapat di kaki kuat sang Burung Garuda “Bhineka Tunggal Ika” nampaknya belum menjiwai seluruh warga bangsa ini. Rasa satu kesatuan sebagai warga negara bukanlah hal yang utama, melainkan arti kata semboyan bangsa ini hanya sekedar wacana belaka. Beberapa peristiwa akibat konflik setelah lengsernya otoritas orde baru dan lahirnya era reformasi adalah sebagai berikut : a. Krisis Aceh dengan adanya Gerakan Aceh merdeka (GAM). b. Krisis Ambon yang memicu perpecahan bangsa karena keyakinan. c. Krisis Poso di Sulawesi Tengah. d. Gerakan Papua Merdeka e. Peristiwa Dayak-Madura di Kalimantan Tengah. f. Peristiwa Ketapang di Jakarta. g. Peristiwa Bom Bali. h. Peristiwa seputar Jemaah Ahmadiyah. i. Peristiwa Monas di Jakarta. j. dan timbulnya lagi krisis Ambon saat ini. Sebenarnya masih banyak peristiwa lain yang terjadi akibat konflik, namun di balik konflik antaretnis di Indonesia yang memecahkan satu kesatuan bangsa jika ditelisik lebih mendalam terdapat sumbu yang membuat satu etnis dengan etnis lainnya hanya memperlihatkan rasa keaku-akuannya, rasa “kami”, dan “mereka”, mereka melihat etnis lain adalah kelompok luar darinya, dan etnis luar melihat etnis lain sebagai musuh baginya. Setiap konflik yang berujung SARA bermula dari konflik individu yang kemudian mengarah ke konflik kolektif yang mengatasnamakan etnis. Kasus konflik Tarakan, Kalimantan Timur, berawal dari salah seorang pemuda Suku Tidung yang melintas di kerumunan Suku Bugis, lantas di keroyok oleh lima orang hingga tewas karena sabetan senjata tajam. Konflik Tarakan menjadi memanas nyatanya tersimpan dendam ke Suku Bugis yang lebih maju menguasai sektor ekonomi.   Faktor ekonomi juga menjadi penyebab utama konflik di bangsa ini, dalam kasus sebuah klub kafe di Bilangan Jakarta Selatan “Dari Blowfish Ke Ampera” antara Suku Ambon dan Suku Flores yang berawal dari perebutan jasa penjaga preman hingga konflik tersebut mengarah ke konflik etnis. Sampai pada Sidang Pengadilan masing-masing pihak yang bertikai masih menunjukan etnosentrisnya. (kompasiana.com)
          Konflik di atas jika dibahas lebih jauh lagi maka akan didapati bahwa adanya disparitas yang menguntungkan satu pihak dan merugikan atau memarginalisasikan pihak lainnya. selama adanya disparitas maka konflik akan selalu terjadi, ketidakadilan dan marginalisasi akan memicu timbulnya konflik di Indonesia. Ini merupakan tugas pemerintah khususnya dan masyarakat umumnya untuk mengantisipasi dan meredam timbulnya konflik walaupun adanya disparitas dan marginalisasi, dan tugas pemerintah Indonesia yang bersistemkan demokrasi untuk meretas disparitas, marginalisasi, ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan lainnya terhadap etnik, golongan, kelompok yang ada di Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STRUKTUR KEKERABATAN PERKAWINAN ANTAR SUKU MELAYU DENGAN BATAK TOBA

STRUKTUR KEKERABATAN PERKAWINAN ANTAR SUKU MELAYU DENGAN BATAK TOBA I.          Latar Belakang Atok ego keturunan dari raja ai...