DISPARITAS
ETNIK
(KONFLIK DI
PAPUA DAN ACEH SIGLI)
OLEH ISMAIL
Disparitas merupakan sesuatu hal, keputusan, kebijakan,
hukum, keadilan, dan hak yang membedakan sekelompok individu atau golongan
dengan menguntungkan salah satu pihak terhadap pihak lainnya. dalam Jurnal
Yudisial Terma“disparitas”
secara popular muncul pada abad ke-16, yang awalnya berakar pada kata Latin
“paritas” atau “parity.” Istilah ini mengandung makna ekuivalen,
sehingga antoniminya, yakni disparitas, berarti perbedaan, kesenjangan,
atau inkonsistensi.
Banyak konflik yang disebabkan karena disparitas,
disparitas yang menguntungkan sebelah pihak dan merugikan pihak lainnya
merupakan masalah besar yang harus diselesaikan. Dewasa ini negara Indonesia
telah menerapkan sistem demokrasi dengan diberlakukannya salah satu hukum
tentang Hak Asasi Manusi (HAM).
Disparitas yang terjadi baik itu pada kelompok etnik, tingkatan masyarakat, dan struktur pemerintah akan menimbulkan konflik yang tidak akan ada habisnya, marginalisasi adalah salah satu kerugian yang akan dirasakan oleh pihakn lainnya. Disparitas akhir-akhir ini banyak terjadi dalam keagamaan yang akhirnya berujung pada sebuah konflik seperti konflik pembakaran sebuah Mushola di provinsi Papua antara umat Islam dengan umat Kristen, kasus pembakaran Gereja di Aceh Sigli antara umat Islam dengan umat Kristen, dan lain-lain. Konflik yang terjadi pada dasarnya disebabkan karena adanya disparitas agama yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya, bukan hanya dalam hal agama tetapi dalam hal-hal yang lainnya. adanya disparitas pasti akan memicu timbulnya konflik, tidak perduli apakah itu disparitas agama, etnik, budaya, atau kebijakan-kebijakan sepihak, tetap akan memicu timbulnya konflik diantara kedua kelompok atau kelompok-kelompok lainnya.
Disparitas yang terjadi baik itu pada kelompok etnik, tingkatan masyarakat, dan struktur pemerintah akan menimbulkan konflik yang tidak akan ada habisnya, marginalisasi adalah salah satu kerugian yang akan dirasakan oleh pihakn lainnya. Disparitas akhir-akhir ini banyak terjadi dalam keagamaan yang akhirnya berujung pada sebuah konflik seperti konflik pembakaran sebuah Mushola di provinsi Papua antara umat Islam dengan umat Kristen, kasus pembakaran Gereja di Aceh Sigli antara umat Islam dengan umat Kristen, dan lain-lain. Konflik yang terjadi pada dasarnya disebabkan karena adanya disparitas agama yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya, bukan hanya dalam hal agama tetapi dalam hal-hal yang lainnya. adanya disparitas pasti akan memicu timbulnya konflik, tidak perduli apakah itu disparitas agama, etnik, budaya, atau kebijakan-kebijakan sepihak, tetap akan memicu timbulnya konflik diantara kedua kelompok atau kelompok-kelompok lainnya.
Beberapa konflik-konflik yang terjadi di Indonesia disebabkan adanya
disparitas dan marginalisasi terhadap salah satu kelompok. Beragamnya suku,
agama, ras, dan golongan membuat Indonesia sebagai bangsa yang rawan konflik.
Dari ujung timur sampai ujung barat bangsa ini sering kali terdengar jerit tangis
bahkan tetesan darah menyelimuti Tanah Air. Semboyan yang terdapat di kaki kuat
sang Burung Garuda “Bhineka Tunggal Ika” nampaknya belum menjiwai seluruh warga
bangsa ini. Rasa satu
kesatuan sebagai warga negara bukanlah hal yang utama, melainkan arti kata
semboyan bangsa ini hanya sekedar wacana belaka. Beberapa peristiwa akibat
konflik setelah lengsernya otoritas orde baru dan lahirnya era reformasi adalah
sebagai berikut : a.
Krisis Aceh dengan adanya Gerakan Aceh merdeka (GAM). b. Krisis Ambon yang
memicu perpecahan bangsa karena keyakinan. c. Krisis Poso di Sulawesi Tengah.
d. Gerakan Papua Merdeka e. Peristiwa Dayak-Madura di Kalimantan Tengah. f.
Peristiwa Ketapang di Jakarta. g. Peristiwa Bom Bali. h. Peristiwa seputar
Jemaah Ahmadiyah. i. Peristiwa Monas di Jakarta. j. dan timbulnya lagi krisis
Ambon saat ini. Sebenarnya masih banyak peristiwa lain yang terjadi akibat
konflik, namun di balik konflik antaretnis di Indonesia yang memecahkan satu
kesatuan bangsa jika ditelisik lebih mendalam terdapat sumbu yang membuat satu
etnis dengan etnis lainnya hanya memperlihatkan rasa keaku-akuannya, rasa
“kami”, dan “mereka”, mereka melihat etnis lain adalah kelompok luar darinya,
dan etnis luar melihat etnis lain sebagai musuh baginya. Setiap konflik yang
berujung SARA bermula dari konflik individu yang kemudian mengarah ke konflik
kolektif yang mengatasnamakan etnis. Kasus konflik Tarakan, Kalimantan Timur,
berawal dari salah seorang pemuda Suku Tidung yang melintas di kerumunan Suku
Bugis, lantas di keroyok oleh lima orang hingga tewas karena sabetan senjata
tajam. Konflik Tarakan menjadi memanas nyatanya tersimpan dendam ke Suku Bugis
yang lebih maju menguasai sektor ekonomi. Faktor ekonomi juga
menjadi penyebab utama konflik di bangsa ini, dalam kasus sebuah klub kafe di
Bilangan Jakarta Selatan “Dari Blowfish Ke Ampera” antara Suku Ambon dan Suku
Flores yang berawal dari perebutan jasa penjaga preman hingga konflik tersebut
mengarah ke konflik etnis. Sampai pada Sidang Pengadilan masing-masing pihak
yang bertikai masih menunjukan etnosentrisnya. (kompasiana.com)
Konflik di
atas jika dibahas lebih jauh lagi maka akan didapati bahwa adanya disparitas
yang menguntungkan satu pihak dan merugikan atau memarginalisasikan pihak
lainnya. selama adanya disparitas maka konflik akan selalu terjadi,
ketidakadilan dan marginalisasi akan memicu timbulnya konflik di Indonesia. Ini merupakan tugas pemerintah
khususnya dan masyarakat umumnya untuk mengantisipasi dan meredam timbulnya
konflik walaupun adanya disparitas dan marginalisasi, dan tugas pemerintah
Indonesia yang bersistemkan demokrasi untuk meretas disparitas, marginalisasi,
ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan lainnya terhadap etnik, golongan, kelompok
yang ada di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar