Minggu, 13 November 2016

TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB ISTRI DALAM PANDANGAN GENDER

TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB ISTRI
DALAM PANDANGAN GENDER
OLEH ISMAIL

A.      Pengertian Gender
            Narwoko dan Yuryanto (2004:334) mengatakan bahwa gender adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Gender merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah kelompok atribut dan perilaku secara kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan. Narwoko dan (2004:335) juga menjalaskan bahwa gender merupakan konsep hubungan sosial yang membedakan  (memilahkan atau memisahkan) fungsi dan peran antara perempuan dan lak-laki. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai kehidupan dan pembangunan.
            Mansour dan Fakih (1999: 8-9) Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciridari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.
            Gender dalam arti yang sederhana ialah istilah untuk penyebutan perbedaan jenis antara laki-laki dengan perempuan. Dalam banyak kajian gender yang jadi pembahasan terjadinya ketidaksetaraan atau ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki baik dalam budaya, adat, norma, kepemimpinan, dan kebijakan-kebijakan lainnya. Dalam hal ini Ibrahim dan Suranto (1998:xxvi) mengatakan Penjajahan kultural yang demikian panjang dan membuat perempuan lebih banyak menjadi korban itu terus dilestarikan. Rasionalisasi kultural inilah yang pada gilirannya membuat perempuan secara psikologis mengidap sesuatu yang oleh Collete Dowling disebut Cinderella Complex, suatu jaringan rasa takut yang begitu mencekam, sehingga kaum wanita merasa tidak berani dan tidak bisa memanfaatkan potensi otak dan daya kreativitasnya secara penuh.
            Kondisi yang menempatkan perempuan khususnya pada posisi tidak menguntungkan yang terbentuk dalam istilah marginalisasi,  subordinasi, dan lain-lainnya, adapaun penjelasan istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Marginalisasi
Marginalisasi merupakan bentuk keterpinggiran terhadap perempuan yang banyak dilakukan oleh laki-laki yang menjadi budaya, adat, norma dan penilaian. Marginalisasi menyebabkan kemiskinan juga terhadap perempuan yang diwujudkan dalam bentuk deskriminasi, keterpinggiran terhadap perempuan membatasi perempuan untuk tampil menunjukkan kemampuannya. Perempuan yang mencapai pendidikan tinggi tidak berarti akan dimajukan tampil ke depan,karena perempuan sejak kecil sudah dimarginalisasikan secara tidak langsung yang telah menjadi budaya dan ideologi bagi masyarakat pada umumnya.
Selama bertahun-tahun ini, diskriminasi terhadap perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan yang berupah, yang terkena pajak, dan yang dilaporkan atau dipantau secara resmi, kedalamannya tidak berubah namun volumenya makin bertambah. Kini 51 % perempuan di Amerika Serikat bekerja di luar rumah, sementara tahun 1880 hanya tercatat 5%. Jika pada tahun 1880 dalam keseluruhan tenaga kerja di Amerika hanya 15% yang perempuan sekarang mencapai 42%. Kini separuh dari semua perempuan yang sudah kawin punya penghasilan sendiri dari suatu pekerjaan luar rumah, sementara seabad silam hanya 5% yang memiliki pendapatan sendiri. Sekarang hukum membuka kesempatan pendidikan serta karier bagi perempuan, sedangkan pada tahun 1880 banyak yang tertutup baginya. Sekarang rata-rata perempuan menghabiskan 28 tahun sepanjang hidupnya untuk bekerja sementara tahun 1880 angka rata-rata yang tercatat hanya 5 tahun. Ini semua kelihatan seperti langkah-langkah penting ke arah kesetaraan ekonomis, tapi tunggu sampai Anda terapkan alat ukur yang tepat. Upah rata-rata tahunan perempuan yang bekerja penuh-waktu masih mandek pada rasio magis dibanding pendapatan laki-laki, yakni 3:5 —-59%, dengan kenaikan atau penurunan 3% — persis persentase seratus tahun silam. Kesempatan pendidikan, ketersediaan perlindungan hukum, retorika revolusioner — politis, teknologis, atau seksual —tak mengubah apa-apa sehubungan dengan rendahnya pendapatan perempuan dibanding laki-laki. (1998:16) sepydiscovery.wordpress.com
2.      Subordinasi
Subordinasi menyebabkan perempuan pada posisi tidak penting atau pada tempat rendah dibandingkan laki-laki dengan anggapan perempuan itu lemah dan di bawah laki-laki. Budiman (1985: 6) mengatakan bahwa perempuan itu lebih lemah atau ada di bawah kaum laki-laki juga sejalan dengan pendapat teori nature yang sudah ada sejak permulaan lahirnya filsafat di dunia Barat. Teori ini beranggapan bahwa sudah menjadi “kodrat” (sic!) wanita untuk menjadi lebih lemah dan karena itu tergantung kepada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya. Dampak dari subordinasi salah satunya ketika perempuan melahirkan anak laki-laki lebih diistimewakan dibandingkan perempuan yang melahirkan bayi perempuan, dan begitu juga terhadap bayi laki-laki lebih diistimewakan dibandingkan bayi perempuan. Mosse, (1996:76) banyak menjelaskan bahwa hubungan subordinasi dengan kekerasan tersebut karena perempuan dilihat sebagai objek untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebagai individu dengan hak atas tubuh dan kehidupannya.

B.       Aliran Femenisme Yang Mendasari Konsep Gender
1.    Femenisme Radikal
Aliran ini justru muncul sebagai kultur sexism atau diskriminasi social berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 60-an,  Aliran ini sangat penting dalam melawan kekerasan seksual dan pornografi. Sejumlah penganut feminis radikal, menyebutkan ada dua system kelas sosial
pertama, system kelas  ekonomi yang didasarkan pada hubungan produksi  kedua, system kelas seks yang didasarkan pada hubungan reproduksi. Sistem kedua inilah yang menyebabkan penindasan pada perempuan.  Para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual atau biologis, sehingga analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, terletak pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideology patriarkinya.  Dengan demikian “kaum laki-laki” secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. (web.unair.ac.id)
2.    Femenisme Marxis
Menurut penganut feminisme Marxis, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari eksploitatif yang bersifat structural. Aliran ini, tidak menganggap patriarki ataupun kaum laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi justru system kapitalisme yang menjadi penyebabnya. Dari perspektif ini, maka  emansipasi perempuan terjadi hanya jika perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti mengurus rumah tangga. Feminisme Marxis, juga  menolak keyakinan kaum feminisme radikal yang menyatakan biologi sebagai dasar pembedaan gender. Menurut Aliran Feminisme Marxis, penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. (web.unair.ac.id)

C.      Studi-Studi Kasus Tentang Gender
1.    Mohamad Muqoffa dalam jurnalnya tentang “Mengkonstruksikan Ruang Gender Pada Rumah Jawa Di Surakarta Dalam Perspektif Kiwari Penghuninya” menerangkan bahwa Gender sebagai konstruk sosial telah diaktualisasikan dalam aras dan konteks yang berbeda di beberapa rumah Jawa (dalem) di Surakarta, Jawa Tengah. Tulisan ini membahas dunia abstrak kiwari penghuni dalem tentang gender dan melihat korelasinya dengan sistem ruang rumah Jawa sebagai rona huniannya. Penelitian ini dilakukan dengan mengandalkan upaya memahami dunia abstrak penghuni dan mengamati sistem ruang. Penelitian ini sengaja dipilih pada tiga rumah Jawa di Surakarta. Hasil penelitian, memperlihatkan bahwa berdasarkan perspektif kiwari penghuninya, terdapat konstruksi ruang gender yang berbeda dengan tradisi.
2.    Titik Putraningsih dalam jurnalnya tentang “Pertunjukan Tari Sebuah Kajian Dalam Perspektif Gender” menerangkan bahwa Dewasa ini masih sedikit wadah kegiatan untuk koreografer perempuan sehingga jarang kita saksikan pertunjukan karya tari koreografer perempuan, namun demikian beberapa pertunjukan tari di Yogyakarta dan Surakarta pernah menyajikan karya koreografer perempuan dengan mengangkat tema gender. Koreografer Setyastuti, Inong, dan Maruti menggelar karyanya dengan tema berbagai sudut kehidupan perempuan Indonesia, dan menggambarkan peran perempuan pada masa kolonial. Karya tari beberapa koreografer tersebut menarik untuk dicermati dari sudut pandang permasalahan gender. Istilah gender mengacu pada makna sosial, budaya, dan biologis. Perspektif gender mengarah pada suatu pandangan atau pemahaman tentang peran perempuan dibedakan secara kodrati, dan peran gender yang ditetapkan secara sosial budaya. Perbedaan gender akan menjadi masalah jika perbedaan itu mengakibatkan ketimpangan perlakuan dalam masyarakat serta ketidakadilan dalam hak dan kesempatan baik bagi laki-laki maupun perempuan.
3.    Nurhandayani, SE. M.Si dalam jurnalnya tentang “ Pengaruh Gender Terhadap Profesionalisme Mahasiswa Program Studi Akuntansi Di Stiesia Surabayayang memaparkan  pengaruh perbedaan gender terhadap tingkat profesionalisme mahasiswa dan mahasiswi di Program Studi Akuntansi STIESIA Surabaya. Pengukuran profesionalisme dalam penelitian ini menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh Hill et al. (1998). Variabel-variabel pembentuk profesionalisme adalah knowledge, skill dan attitude. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 94 kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat profesionalisme yang secara statistik signifikan antara mahasiswa dengan mahasiswi di Program Studi Akuntansi STIESIA Surabaya.  1). Ada perbedaan knowledge (pengetahuan umum, organisasional dan bisnis serta akuntansi) yang secara statistik signifikan antara mahasiswa dan mahasiswi akuntansi STIESIA Surabaya. 2). Tidak ada perbedaan skill (keahlian intelektual, interpersonal dan berkomunikasi) yang secara statistik signifikan antara mahasiswa dan mahasiswi STIESIA Surabaya. 3). Ada perbedaan attitude (kepribadian) yang secara statistik signifikan antara mahasiswa dan mahasiswi STIESIA Surabaya. 4). Ada perbedaan tingkat profesionalisme yang secara statistik signifikan antara mahasiswa dan mahasiswi STIESIA Surabaya.
D.      Tugas Dan Tanggung Jawab Istri Dalam Pandangan Gender
Salah satu sendi utama dalam demokrasi yaitu Kesetaraan Gender karena menjamin bebasnya untuk berpeluang dan mengakses bagii seluruh elemen masyarakat. Gagalnya dalam mencapai cita – cita demokrasi, seringkali dipicu oleh ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Ketidaksetaraan ini dapat berupa diskriminatif yang dilakukan oleh mereka yang dominannya laki-laki baik secara struktural maupun budaya. Perlakuan diskriminatif dan ketidaksetaraan dapat menimbulkan kerugian dan menurunkan kesejahteraan hidup bagi pihak-pihak yang termarginalisasi. Sampai saat ini diskriminasi berbasis pada gender masih terasakan hampir di seluruh dunia khususnya pada kaum perempuan, termasuk di negara di mana demokrasi telah dianggap tercapai seperti Amerika. Dalam konteks ini, kaum perempuan yang paling berpotensii mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, meski tidak menutup kemungkinan akan terjadi pada kaum laki-laki. Pembakuan peran dalam suatu masyarakat merupakan kendala yang paling utama dalam proses perubahan sosial. Sejauh menyangkut persoalan gender di mana secara global kaum perempuan yang lebih besar merasakan dampak negatifnya.
Perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan terdapat dalam semua budaya seperti budaya Batak, Minang, Aceh, dan budaya lainnya. Banyak pemikiran yang muncul secara universal mengenaii perbedaan gender secara lintas budaya seperti tugas tanggung jawab perempuan yang berat, keterbatasan waktu, laki-laki lebih diutamakan dari pada perempuan (sebagai pemimpin), dan banyak lagi diskriminasi-diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan yang sifatnya diharuskan lemah lembut, pendiam, tidak banyak gerak, pelayan bagi laki-laki, seolah menjadi kodrat bagi perempuan (suku jawa), hal ini sudah menjadi budaya sejak lahir disetiap budaya. Namun perempuan juga mampu melakukan pekerjaan yang banyak dilakukan laki-laki pada umumnya,
Dewasa ini banyak stereotofi-streotof yang tersebar dikalangan masyarakat khususnya pada kaum perempuan, bukan hanya itu marginalisasi, ketimpangan, bias, dan batasan-batasan yang diciptakan budaya bahkan agama menjadikan ketidaksetaraan gender pada perempuan. Ketidaksetaraan gender terhadap perempuan seolah menjadi ideologi bagi semua kalangan sosial dan budaya, ketidaksetaraan juga terjadi dalam dunia pendidikan, pemerintahan, jabatan, tugas dan tanggung jawab terhadap perempuan. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memuat tentang pasal-pasal yang mengharuskan kesetaraan pendidikan perempuan yang berhak untuk memperoleh pendidikan, pasal 48 yang berbunyi: “wanita berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan”. Begitu juga dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Pendidikan yang terkandung di dalamnya menjamin pemerataan kesempatan pendidikan. Namun dalam hal ini seolah tidak menyadari atau mungkin unsur kesengajaan bahwa realitanya perempuan sering diddeskriminasi, dimarginalisasi, yang menyebabkan ketidaksetaraan gender pada perempuan dibandingkan laki-laki.

Kesetaraan gender tidak berlaku juga perempuan yang sudah menempuh pendidikan sampai kejenjang Strata 2 (S2). Pendidikan yang ditempuh seorang istri rupanya tidak menghasilkan kesetaraan gender dalam tugas dan tanggung di rumah tanggaa. Namun tugas dan tanggung jawab seorang istri menjadi dua kali lebih besar dibandingkan suaminya. Sterotif, marginalisasi, deskriminasi, dan ketidaksetraan gender dialami oleh istri-istri yang mempunyai pekerjaan sendiri, tugas dan tanggung jawab seorang istri tetap menjadi budaya yang senantiasa harus dikerjakan, namun tidak hanya sampai disitu penghasilan istri yang bekerja juga digunakan untuk kebutuhan anak secara sepenuhnya yang seharusnya menjadi tanggung jawab suami pada umumnya. Perempuan yang bekerja di luar rumah dan mempunyai penghasilan sendiri hanya dianggap sebagai penghasilan tambahan suami, penghasilan suami tetap lebih yang menjadi lebih utama walaupun penghasilan istri lebih besar dari pada pendapatan suami. Beban dan tanggung jawab seorang perempuan sebagai istri seperti menjaga anak, menyiapkan makanan, mencuci dan membersihkan rumah, melayani suami, serta bekerja, seharusnya menjadikan perempuan pada posisi nomor satu atau paling depan jika dilihat dari beban dan tanggung jawab perempuan tersebut. Namun tidak seperti itu, walaupun tugas dan tanggung jawabnya berlipat-lipat dibandingkan suami, perempuan juga tetap berada di belakang, tidak diutamakan. Suami istri yang sama-sama mengenal pendidikan harusnya sadar dan membuka mata dengan tugas dan tanggung jawab dalam rumah tangga, beban istri yang berlipat-lipat ganda dibandingkan suami harusnya dapat dibagi rata dengan suami agar tidak terjadi ketidaksetaraan gender.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STRUKTUR KEKERABATAN PERKAWINAN ANTAR SUKU MELAYU DENGAN BATAK TOBA

STRUKTUR KEKERABATAN PERKAWINAN ANTAR SUKU MELAYU DENGAN BATAK TOBA I.          Latar Belakang Atok ego keturunan dari raja ai...