TUGAS
DAN TANGGUNG JAWAB ISTRI
DALAM
PANDANGAN GENDER
OLEH
ISMAIL
A.
Pengertian
Gender
Narwoko dan Yuryanto (2004:334) mengatakan bahwa gender adalah perbedaan yang tampak pada
laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah
laku. Gender merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan
perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah kelompok
atribut dan perilaku secara kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan. Narwoko dan (2004:335) juga menjalaskan bahwa gender merupakan konsep hubungan sosial yang
membedakan (memilahkan atau memisahkan) fungsi dan peran antara perempuan
dan lak-laki. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu
tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat,
melainkan dibedakan menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam
berbagai kehidupan dan pembangunan.
Mansour dan Fakih (1999: 8-9) Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh
Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap
laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut,
cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional,
jantan dan perkasa. Ciri-ciridari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan,
misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan
perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke
waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.
Gender dalam arti yang sederhana ialah istilah untuk
penyebutan perbedaan jenis antara laki-laki dengan perempuan. Dalam banyak
kajian gender yang jadi pembahasan terjadinya ketidaksetaraan atau
ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki baik dalam budaya, adat, norma,
kepemimpinan, dan kebijakan-kebijakan lainnya. Dalam hal ini Ibrahim dan Suranto (1998:xxvi)
mengatakan Penjajahan kultural yang
demikian panjang dan membuat perempuan lebih banyak menjadi korban itu terus
dilestarikan. Rasionalisasi kultural inilah yang pada gilirannya membuat perempuan
secara psikologis mengidap sesuatu yang oleh Collete Dowling disebut Cinderella Complex, suatu
jaringan rasa takut yang begitu mencekam, sehingga kaum wanita merasa tidak
berani dan tidak bisa memanfaatkan potensi otak dan daya kreativitasnya secara
penuh.
Kondisi yang menempatkan perempuan
khususnya pada posisi tidak menguntungkan yang terbentuk dalam istilah
marginalisasi, subordinasi, dan
lain-lainnya, adapaun penjelasan istilah-istilah tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Marginalisasi
Marginalisasi merupakan
bentuk keterpinggiran terhadap perempuan yang banyak dilakukan oleh laki-laki
yang menjadi budaya, adat, norma dan penilaian. Marginalisasi menyebabkan
kemiskinan juga terhadap perempuan yang diwujudkan dalam bentuk deskriminasi,
keterpinggiran terhadap perempuan membatasi perempuan untuk tampil menunjukkan
kemampuannya. Perempuan yang mencapai pendidikan tinggi tidak berarti akan
dimajukan tampil ke depan,karena perempuan sejak kecil sudah dimarginalisasikan
secara tidak langsung yang telah menjadi budaya dan ideologi bagi masyarakat
pada umumnya.
Selama bertahun-tahun ini, diskriminasi terhadap perempuan dalam
pekerjaan-pekerjaan yang berupah, yang terkena pajak, dan yang dilaporkan atau
dipantau secara resmi, kedalamannya tidak berubah namun volumenya makin
bertambah. Kini 51 % perempuan di Amerika Serikat bekerja di luar rumah,
sementara tahun 1880 hanya tercatat 5%. Jika pada tahun 1880 dalam keseluruhan
tenaga kerja di Amerika hanya 15% yang perempuan sekarang mencapai 42%. Kini
separuh dari semua perempuan yang sudah kawin punya penghasilan sendiri dari
suatu pekerjaan luar rumah, sementara seabad silam hanya 5% yang memiliki
pendapatan sendiri. Sekarang hukum membuka kesempatan pendidikan serta karier
bagi perempuan, sedangkan pada tahun 1880 banyak yang tertutup baginya.
Sekarang rata-rata perempuan menghabiskan 28 tahun sepanjang hidupnya untuk
bekerja sementara tahun 1880 angka rata-rata yang tercatat hanya 5 tahun. Ini
semua kelihatan seperti langkah-langkah penting ke arah kesetaraan ekonomis,
tapi tunggu sampai Anda terapkan alat ukur yang tepat. Upah rata-rata tahunan
perempuan yang bekerja penuh-waktu masih mandek pada rasio magis dibanding
pendapatan laki-laki, yakni 3:5 —-59%, dengan kenaikan atau penurunan 3% —
persis persentase seratus tahun silam. Kesempatan pendidikan, ketersediaan
perlindungan hukum, retorika revolusioner — politis, teknologis, atau seksual
—tak mengubah apa-apa sehubungan dengan rendahnya pendapatan perempuan
dibanding laki-laki. (1998:16)
sepydiscovery.wordpress.com
2.
Subordinasi
Subordinasi menyebabkan perempuan pada posisi tidak penting atau pada
tempat rendah dibandingkan laki-laki dengan anggapan perempuan itu lemah dan di
bawah laki-laki. Budiman (1985: 6) mengatakan bahwa perempuan itu lebih lemah atau ada di bawah kaum laki-laki juga sejalan
dengan pendapat teori nature yang sudah ada sejak permulaan
lahirnya filsafat di dunia Barat. Teori ini beranggapan bahwa sudah menjadi
“kodrat” (sic!) wanita untuk menjadi lebih lemah dan karena itu tergantung
kepada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya. Dampak dari subordinasi salah
satunya ketika perempuan melahirkan anak laki-laki lebih diistimewakan
dibandingkan perempuan yang melahirkan bayi perempuan, dan begitu juga terhadap
bayi laki-laki lebih diistimewakan dibandingkan bayi perempuan. Mosse,
(1996:76) banyak menjelaskan bahwa hubungan subordinasi dengan kekerasan
tersebut karena perempuan dilihat sebagai objek untuk dimiliki dan
diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebagai individu dengan hak atas tubuh
dan kehidupannya.
B.
Aliran Femenisme Yang
Mendasari Konsep Gender
1.
Femenisme Radikal
Aliran ini justru muncul sebagai kultur sexism
atau diskriminasi social berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun
60-an, Aliran ini sangat penting dalam melawan kekerasan seksual dan
pornografi. Sejumlah penganut feminis radikal, menyebutkan ada dua system
kelas sosial
pertama,
system kelas ekonomi yang didasarkan pada hubungan produksi kedua,
system kelas seks yang didasarkan pada hubungan reproduksi. Sistem kedua inilah
yang menyebabkan penindasan pada perempuan. Para penganut feminisme
radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik,
unsur-unsur seksual atau biologis, sehingga analisis tentang penyebab
penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, terletak pada jenis kelamin
laki-laki itu sendiri beserta ideology patriarkinya. Dengan demikian
“kaum laki-laki” secara biologis maupun politis adalah bagian dari
permasalahan. (web.unair.ac.id)
2. Femenisme Marxis
Menurut penganut
feminisme Marxis, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari eksploitatif
yang bersifat structural. Aliran ini, tidak menganggap patriarki ataupun kaum
laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi justru system kapitalisme yang
menjadi penyebabnya. Dari perspektif ini, maka emansipasi perempuan
terjadi hanya jika perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti mengurus
rumah tangga. Feminisme Marxis, juga menolak keyakinan kaum feminisme
radikal yang menyatakan biologi sebagai dasar pembedaan gender. Menurut Aliran
Feminisme Marxis, penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas
dalam hubungan produksi. Persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka
kritik atas kapitalisme. (web.unair.ac.id)
C.
Studi-Studi Kasus
Tentang Gender
1.
Mohamad Muqoffa dalam jurnalnya tentang “Mengkonstruksikan
Ruang Gender Pada Rumah Jawa Di Surakarta Dalam Perspektif Kiwari Penghuninya”
menerangkan bahwa Gender sebagai konstruk sosial telah diaktualisasikan dalam
aras dan konteks yang berbeda di beberapa rumah Jawa (dalem) di
Surakarta, Jawa Tengah. Tulisan ini membahas dunia abstrak kiwari penghuni dalem
tentang gender dan melihat korelasinya dengan sistem ruang rumah Jawa
sebagai rona huniannya. Penelitian ini dilakukan dengan mengandalkan upaya
memahami dunia abstrak penghuni dan mengamati sistem ruang. Penelitian ini
sengaja dipilih pada tiga rumah Jawa di Surakarta. Hasil penelitian,
memperlihatkan bahwa berdasarkan perspektif kiwari penghuninya, terdapat
konstruksi ruang gender yang berbeda dengan tradisi.
2.
Titik Putraningsih dalam jurnalnya
tentang “Pertunjukan Tari Sebuah Kajian Dalam Perspektif Gender”
menerangkan bahwa Dewasa ini masih sedikit wadah kegiatan untuk koreografer
perempuan sehingga jarang kita saksikan pertunjukan karya tari koreografer perempuan,
namun demikian beberapa pertunjukan tari di Yogyakarta dan Surakarta pernah
menyajikan karya koreografer perempuan dengan mengangkat tema gender.
Koreografer Setyastuti, Inong, dan Maruti menggelar karyanya dengan tema
berbagai sudut kehidupan perempuan Indonesia, dan menggambarkan peran perempuan
pada masa kolonial. Karya tari beberapa koreografer tersebut menarik untuk
dicermati dari sudut pandang permasalahan gender. Istilah gender mengacu pada
makna sosial, budaya, dan biologis. Perspektif gender mengarah pada suatu
pandangan atau pemahaman tentang peran perempuan dibedakan secara kodrati, dan
peran gender yang ditetapkan secara sosial budaya. Perbedaan gender akan
menjadi masalah jika perbedaan itu mengakibatkan ketimpangan perlakuan dalam masyarakat
serta ketidakadilan dalam hak dan kesempatan baik bagi laki-laki maupun
perempuan.
3.
Nurhandayani, SE. M.Si dalam jurnalnya
tentang “ Pengaruh Gender Terhadap Profesionalisme Mahasiswa Program Studi Akuntansi Di Stiesia
Surabaya” yang memaparkan pengaruh perbedaan gender terhadap tingkat
profesionalisme mahasiswa dan mahasiswi di Program Studi Akuntansi STIESIA
Surabaya. Pengukuran profesionalisme dalam penelitian ini menggunakan kuesioner
yang dikembangkan oleh Hill et al. (1998). Variabel-variabel pembentuk
profesionalisme adalah knowledge, skill dan attitude. Kuesioner yang digunakan
dalam penelitian ini berjumlah 94 kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada perbedaan tingkat profesionalisme yang secara statistik signifikan antara
mahasiswa dengan mahasiswi di Program Studi Akuntansi STIESIA Surabaya. 1). Ada
perbedaan knowledge (pengetahuan umum, organisasional dan bisnis serta
akuntansi) yang secara statistik signifikan antara mahasiswa dan mahasiswi
akuntansi STIESIA Surabaya. 2). Tidak ada perbedaan skill (keahlian
intelektual, interpersonal dan berkomunikasi) yang secara statistik signifikan
antara mahasiswa dan mahasiswi STIESIA Surabaya. 3). Ada perbedaan attitude (kepribadian)
yang secara statistik signifikan antara mahasiswa dan mahasiswi STIESIA
Surabaya. 4). Ada perbedaan tingkat profesionalisme yang secara statistik
signifikan antara mahasiswa dan mahasiswi STIESIA Surabaya.
D.
Tugas Dan Tanggung Jawab Istri Dalam
Pandangan Gender
Salah satu sendi utama dalam demokrasi yaitu Kesetaraan Gender karena
menjamin bebasnya untuk berpeluang dan mengakses bagii seluruh elemen masyarakat.
Gagalnya dalam mencapai cita – cita demokrasi, seringkali dipicu oleh
ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Ketidaksetaraan ini dapat berupa diskriminatif
yang dilakukan oleh mereka yang dominannya
laki-laki baik secara struktural maupun budaya. Perlakuan diskriminatif
dan ketidaksetaraan dapat menimbulkan kerugian dan menurunkan kesejahteraan
hidup bagi pihak-pihak yang termarginalisasi. Sampai saat ini diskriminasi
berbasis pada gender masih terasakan hampir di seluruh dunia khususnya pada kaum perempuan, termasuk di negara di mana demokrasi telah dianggap tercapai seperti Amerika. Dalam konteks ini, kaum perempuan yang paling berpotensii mendapatkan
perlakuan yang diskriminatif, meski tidak menutup kemungkinan akan terjadi pada
kaum laki-laki. Pembakuan peran dalam suatu masyarakat merupakan kendala yang
paling utama dalam proses perubahan sosial. Sejauh menyangkut persoalan gender
di mana secara global kaum perempuan yang lebih besar merasakan dampak negatifnya.
Perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan terdapat dalam semua budaya seperti budaya Batak, Minang, Aceh, dan budaya
lainnya. Banyak pemikiran yang
muncul secara universal mengenaii perbedaan gender secara lintas budaya seperti
tugas tanggung jawab perempuan yang berat, keterbatasan waktu, laki-laki lebih
diutamakan dari pada perempuan (sebagai pemimpin), dan banyak lagi
diskriminasi-diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan yang sifatnya
diharuskan lemah lembut, pendiam, tidak banyak gerak, pelayan bagi laki-laki,
seolah menjadi kodrat bagi perempuan (suku jawa), hal ini sudah menjadi budaya
sejak lahir disetiap budaya. Namun perempuan juga mampu melakukan pekerjaan
yang banyak dilakukan laki-laki pada umumnya,
Dewasa ini banyak stereotofi-streotof yang tersebar dikalangan
masyarakat khususnya pada kaum perempuan, bukan hanya itu marginalisasi,
ketimpangan, bias, dan batasan-batasan yang diciptakan budaya bahkan agama
menjadikan ketidaksetaraan gender pada perempuan. Ketidaksetaraan gender
terhadap perempuan seolah menjadi ideologi bagi semua kalangan sosial dan
budaya, ketidaksetaraan juga terjadi dalam dunia pendidikan, pemerintahan,
jabatan, tugas dan tanggung jawab terhadap perempuan. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang memuat tentang pasal-pasal yang mengharuskan
kesetaraan pendidikan perempuan yang berhak untuk memperoleh pendidikan, pasal
48 yang berbunyi: “wanita berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua
jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah
ditentukan”. Begitu juga dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang
Pendidikan yang terkandung di dalamnya menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan. Namun dalam hal ini seolah tidak menyadari atau mungkin unsur
kesengajaan bahwa realitanya perempuan sering diddeskriminasi, dimarginalisasi,
yang menyebabkan ketidaksetaraan gender pada perempuan dibandingkan laki-laki.
Kesetaraan gender tidak berlaku juga perempuan
yang sudah menempuh pendidikan sampai kejenjang Strata 2 (S2). Pendidikan yang
ditempuh seorang istri rupanya tidak menghasilkan kesetaraan gender dalam tugas
dan tanggung di rumah tanggaa. Namun tugas dan tanggung jawab seorang istri
menjadi dua kali lebih besar dibandingkan suaminya. Sterotif, marginalisasi,
deskriminasi, dan ketidaksetraan gender dialami oleh istri-istri yang mempunyai
pekerjaan sendiri, tugas dan tanggung jawab seorang istri tetap menjadi budaya
yang senantiasa harus dikerjakan, namun tidak hanya sampai disitu penghasilan
istri yang bekerja juga digunakan untuk kebutuhan anak secara sepenuhnya yang
seharusnya menjadi tanggung jawab suami pada umumnya. Perempuan yang bekerja di
luar rumah dan mempunyai penghasilan sendiri hanya dianggap sebagai penghasilan
tambahan suami, penghasilan suami tetap lebih yang menjadi lebih utama walaupun
penghasilan istri lebih besar dari pada pendapatan suami. Beban dan tanggung
jawab seorang perempuan sebagai istri seperti menjaga anak, menyiapkan makanan,
mencuci dan membersihkan rumah, melayani suami, serta bekerja, seharusnya
menjadikan perempuan pada posisi nomor satu atau paling depan jika dilihat dari
beban dan tanggung jawab perempuan tersebut. Namun tidak seperti itu, walaupun
tugas dan tanggung jawabnya berlipat-lipat dibandingkan suami, perempuan juga
tetap berada di belakang, tidak diutamakan. Suami istri yang sama-sama mengenal
pendidikan harusnya sadar dan membuka mata dengan tugas dan tanggung jawab
dalam rumah tangga, beban istri yang berlipat-lipat ganda dibandingkan suami
harusnya dapat dibagi rata dengan suami agar tidak terjadi ketidaksetaraan
gender.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar